LBHIWOSOPPENG.COM - Dukung Menteri Agama tentang Toa Mesjid
by. Denny JA (Pengusaha dan Penulis)
Mendengar pro dan kontra
aturan Menteri Agama soal pengeras suara (toa) mesjid, saya justru teringat
bisnis properti.
Jika properti itu berlokasi di
dekat mesjid, harganya justru turun. Harga properti itu jatuh lebih murah.
Inilah respon pasar apa adanya. (1)
Perlu direnungkan, mengapa
properti di dekat mesjid bukan dianggap berkah, dan membuat properti itu lebih
mahal? Mengapa bukannya orang berlomba- lomba mencari rumah di dekat mesjid,
sehingga membuat harga rumah itu lebih mahal?
Bukankah properti di dekat
fasilitas umum lain, seperti di dekat stasiun, rumah sakit, perkantoran,
membuat properti itu lebih mahal? Tapi mengapa properti di dekat mesjid justru
membuatnya jatuh lebih murah?
Ini alasan yang acap kita
dengar. Rumah itu tempat kita beristirahat. Sekian lama kita lelah berkerja di
kantor, pasar, pertokoan, dari pagi hingga sore. Di rumah kita kembali, untuk menikmati
hidup yang personal. Privat.
Namun jika di dekat mesjid,
suara toa terdengar berkali- kali. Tak
hanya suara panggilan adzan, atau iqomah, kadang suara pengajian ibu- ibu atau
anak anak juga diperdengarkan keluar. Kadang suara emak- emak bernyanyi
qasidahanpun disiarkan keluar. Keras sekali suaranya.
Aneka ceramah dalam rangka
syiar agama juga acapkali diperdengarkan ke luar lewat toa mesjid. Juga keras
sekali suaranya.
Celakanya kualitas toa mesjid
tak selalu bagus. Bahkan Jusuf Kala, Ketua Dewan Mesjid Indonesia, menyatakan
75 persen kualitas pengeras suara mesjid di Indonesia itu buruk. Suara lewat
toa itu bukannya mengirimkan kesyahduan yang membuat kita teduh, menikmatinya.
Tapi suara dari toa yang buruk itu malah
memekakkan telinga. (2)
Respon pasar properti di atas
tak ada yang mengaturnya. Tak ada komando yang memerintahkan harga pasar atas
properti di dekat mesjid harus naik atau turun.
Respon pasar itu murni suara
hati masyarakat. Baik mereka non- muslim ataupun muslim, itulah realitasnya.
Bahwa toa di mesjid itu, yang suaranya dikirim keluar itu, yang acapkali
memekakkan telinga itu, justru membuat mereka yang tinggal di sana umumnya tak
nyaman. Bahkan tanpa dikomando, harga properti di dekat mesjid pun turun.
Itu sebabnya surat edaran Menteri Agama No 5 Tahun 2022, yang mengatur pengeras suara mesjid, menjadi penting.
Menteri agama mengatur volume
suara toa mesjid yang dipasang keluar, agar terdengar ke rumah-rumah, jangan
lebih dari 100 db (100 desibel).
Yang dibolehkan disiarkan
keluar melalui toa mesjid juga dibatasi hanya adzan, iqomah, dan pembacaan ayat
quran sebelum adzan, paling lama 5-10 menit saja.
Menteri agama membatasi tak
hanya kerasnya volume toa mesjid. Juga diatur materi apa yang boleh disiarkan
keluar mesjid dan berapa lama.
Jika berhasil dieksekusi
dengan baik, 10 tahun dari sekarang, nama Yaqut Cholil Qoumas akan harum.
Kebijakan toa mesjid itu menjadi legacynya.
Empat alasan di bawah ini
mengapa aturan Menteri Agama ini layak bahkan harus didukung.
Pertama, preseden dari
otoritas yang lebih tinggi. Media Arab
Saudi, Saudi Gazzette, 24 Maret 2021 memberitakan. Bahwa pemerintah Arab Saudi
sudah lebih dahulu membatasi penggunaan loudspeker. Alat pengeras suara ke luar
mesjid itu dibatasi bahkan hanya untuk adzan dan iqomah saja (seruan pertanda
sholat segera dimulai). (3)
Volume loudspeaker itu juga
dibatasi hanya sepertiga dari volume yang biasa.
Saudi Arabia adalah awal dan
pusat dari agama Islam dunia. Soal keabsahan sebuah kebijakan atas agama Islam
terasa lebih otoritatif jika datang dari negara ini.
Media Egyp Today, tanggal 22 April 2018, juga memberitakan.
Bahkan lebih awal dibandingkan Arab Saudi, pemerintahan Mesir juga membatasi
penggunaan loud speaker hanya untuk adzan dan iqomat saja. (4)
Di Mesir terdapat mesjid Al-
Azhar yang sudah berdiri sejak tahun 971. Di sana juga berdiri Universitas
Al-Azhar yang dibangun tahun 975. Dua bangunan itu sudah menceritakan betapa
agama Islam di Mesir sudah sangat berakar. Agama Islam di Mesir sudah lebih
awal dibandingkan dengan di Indonesia.
Kebijakan soal agama Islam yang datang dari Mesir, yang didukung oleh ulama utama mesjid Al-Azhar juga terasa lebih otoritatif.
Bahkan soal membatasi
penggunaan loadspeaker, pemerintah Mesir sudah mendahului Indonesia dan Arab
Saudi.
Alasan kedua adalah hukum
agama. Yang perlu dirujuk soal mesjid pertama- tama tentu hukum agama.
Baik Arab Gazzette dan Egyp
Today memberitakan justru hukum Islam yang dijadikan dasar pembatasan
loudspeaker ke luar mesjid itu.
Dalik-dalil Syariah, yang
terpenting adalah sabda Nabi Muhammad sendiri. Nabi mengajarkan bahwa semua
jamaah yang berdoa dan memohon kepada Allah SWT, tidak boleh menyakiti atau
menyebabkan ketidaknyamanan satu sama lain dengan bacaan keras selama shalat.
Hal ini merupakan implementasi
dari prinsip fiqih, “Jangan menyakiti orang lain, juga tidak boleh orang lain
menyakitimu.”
Suara imam selama shalat harus
didengar oleh semua orang di dalam masjid. Menurut syariat, suara imam tidak
perlu terdengar di rumah tetangga di luar.
Itu juga dapat dianggap
merendahkan Al-Qur'an ketika ayatnya dibacakan dengan keras menggunakan
pengeras suara eksternal, tapi tidak ada
yang mendengarkan dan merenungkan ayat-ayatnya.
Dalil ini sesuai dengan fatwa
ulama besar Syekh Muhammad Bin Saleh Al-Othaimeen. Ia menyatakan pengeras suara
eksternal tidak boleh digunakan kecuali untuk Adzan dan Iqamat-ul-salah. .
Surat edaran tersebut juga berdasarkan fatwa anggota Majelis Ulama senior dan anggota panitia tetap Dr. Saleh Al-Fowzan, serta beberapa ulama lainnya.
Alasan Ketiga adalah prinsip moralitas umum. Jangan
lakukan kepada orang lain apa yang kamu tak ingin dilakukan orang lain padamu.
Penganut agama Islam pun akan
keberatan jika mendengar pengeras suara dari syiar agama lain di rumahnya.
Apalagi jika pengeras suara itu diperdengarkan setiap hari. Dalam satu hari,
keras suara itu diperdengarkan berkali- kali pula.
Bahkan keberatan toa mesjid
itu datang dari penganut agama Islam sendiri. Ini juga menjadi pertimbangan
pemerintah Arab Saudi dan Mesir. Orang tua, atau mereka yang sedang sakit, para
bayi yang perlu istirahat, juga akan terganggu dengan toa mesjid ke luar rumah
itu.
Membatasi toa mesjid ke luar
hanya pada adzan dan Iqomah, plus lantunan ayat Quran 5-10 menit sebelumnya
adalah kompromi yang sudah sangat baik.
Alasan keempat adalah
Jalaluddin Rumi. Kita merenungkan ucapan guru sufi dan penyair Jalaluddin Rumi.
Ujar Rumi;
“Silence is the langguage of
God. All else is poor translation.”
Keheningan adalah bahasa
Tuhan. Doa itu merasuk dan khusyuk dinikmati dalam kondisi batin yang hening.
Bukan dalam kondisi lahiriah yang hingar bingar.
Hening di sini bukan berarti
sama sekali tanpa suara. Tapi kedalaman sentuhan ilahiah itu memang
mensyaratkan kesyahduan, bukan hingar- bingar. Bising.
Untuk berhasil, seorang
pemimpin harus memiliki prinsip virtue dan courage. Virtue itu kebajikan,
tindakan yang benar, berdasarkan pikiran
yang mencerahkan. Sedangkan courage itu karakter yang didorong oleh
keberanian mengambil resiko.
Dua elemen itu yang perlu
dimiliki menteri agama di Indonesia. Itu agar sang menteri mengantar Indonesia,
selaku negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini, untuk mengalami
moderasi soal hidup beragama.
Menteri agama sekarang: Yaqut
Cholil Qoumas potensial memiliki dua karakter itu: virtue dan courage.
Kebijakan soal toa mesjid,
aturan pengeras suara, hanyalah salah satu dari beberapa kebijakannya yang
kuat, dipandang dari kepentingan masyarakat yang beragam untuk harmonis.
Menteri agama memang banyak dikritik soal analog yang ia gunakan.
Sang menteri dianggap menyamakan suara toa mesjid itu dengan gonggongan anjing.
Tapi kita semua tahu. Analogi
itu hanya asesoris saja. Esensinya bukan itu. Esensinya adalah soal mengatur
pengeras suara toa mesjid untuk harmoni hidup bermasyarakat.
Kita harus mengarahkan fokus perhatian kita kepada esensinya. Bukan fokus pada asesorinya. Sama seperti ketika seorang guru menunjuk bulan. Fokus perhatian harus kita arahkan pada bulan yang ditunjuk. Jangan fokus pada jari yang menunjuk.
Publikasi: Mappasessu
0 Comments