Tanggapan tulisan: HMI Sudah Tiada
HMI: PERNAH ADA, MASIH ADA, DAN AKAN TETAP ADA
by. Alfit Lyceum*
Memerah wajah kawan saya usai membaca "omelan" seorang Profesor terhadap HMI. "Santai saja, mungkin Profesor itu habis ngopi campur bon cabe level 100, jadi bahasanya pahit-pahit pedas gitu", celotehku. He he
Kawan saya itu aktivis HMI yang malang melintang dalam misi pencerahan. Sering sekali tampak di warkop ke warkop, kos ke kos, kadang pula merumput di emperan-emperan kampus. Ia tak pernah merapat tuk menjilat di rumah-rumah pejabat. Apa yang dilakukannya di warkop, kos dan emperan kampus? Tentu saja pencerahan dan berbagi gagasan, bukan gosip, bukan pula berbagi chip.
Sebenarnya, wajarlah wajah teman saya itu memerah. Bagaimana tak memerah, dalam tulisannya, si Profesor menganggap eksistensi HMI sama dengan non eksistensinya. HMI telah mati, sejak munculnya HMI-MPO. Bahkan, dalam hemat guru besar tersebut, HMI-MPO diinisiasi oleh kelompok-kelompok radikalis Islam. Khusus yang terakhir ini, saya no comment. Teman-teman HMI (khususnya MPO) yang lebih layak meresponnya.
Di sini, kita hanya menganalisa apakah benar HMI telah tiada? Apa yang beliau maksudkan dengan "mati"nya HMI? Apa sebab kematian HMI? Dari tulisan Profesor tersebut, tampak dua faktor yang menyebabkan kematian HMI:
SATU
Perpecahan. HMI dianggap mati sebab HMI terpecah menjadi MPO dan DIPO. Sejak kemunculan MPO, HMI telah tiada, selanjutnya, apa yang disebut HMI hanya rangkaian cerita perpecahan semata. Begitu kira-kira katanya.
Tentu kita heran. Bagaimana bisa perpecahan melahirkan kematian atau ketiadaan. Perpecahan itu melahirkan keragaman, dan terlahir dari perbedaan pandangan tanpa kemufakatan. Jadi, perpecahan itu bukan meniada, tapi mengganda.
Yah, perpecahan bisa meniadakan, bila pecahan-pecahan tersebut bersepakat melepaskan atribut yang sama. Dimana, setiap pecahan mengenakan atribut yang sepenuhnya berbeda dengan pecahan lainnya. Faktanya, perpecahan HMI tidak demikian.
Perpecahan HMI adalah perpecahan yang menghidupkan, bukan mematikan. Dengan terpecah, HMI mengganda. Yang mengganda bukan hanya kantornya, tapi juga gagasan dan tindakannya, juga ideopolstrataknya.
Keduanya tetap hidup dan akan terus hidup atas nama HMI. Bahkan, dalam agenda tertentu, keduanya kerap bergandengan tangan. Tentu, ada seupil kader HMI yang menganggap HMI lain (juga organisasi ekstra lain) sebagai musuh. Tapi, yah mereka hanya upil, bukan neraca.
Bayangkan, jika perpecahan dianggap sebagai kematian, maka apa yang harus dikatakan pada Islam yang faktanya juga terpecah? Haruskah dikatakan Islam telah mati? Ngeri bukan?
Karena itu, perpecahan Islam, pun HMI, adalah dinamika intelektual, tanpa mengenyampingkan unsur-unsur politis yang terlibat di dalamnya. Yang masalah, jika setiap pecahan menganggap pecahan lainnya sebagai rival yang mesti dimatikan. Pecahan-pecahan mesti bersikap intelektual, apatahlagi pecahan dari organisasi intelektual, dengan cara berlomba menunjukkan eksistensi diri dalam peraihan prestasi-prestasi.
DUA
Faktor lain yang dianggap Profesor tersebut sebagai penyebab matinya HMI adalah minimnya agenda intelektual yang diselenggarakan oleh HMI. Kader-kader HMI lebih sering menyata di warkop-warkop ketimbang di laboratorium-laboratorium.
Untuk membantah hal ini, cukup sajikan fakta kerja-kerja intelektual HMI yang tak terbilang jumlahnya. Hadirkan juga data aksi-aksi sosial dan moral yang digelar HMI sebagai wujud realisasi dari intelektualitas. Tak perlu lah saya urutkan satu-satu di sini. Tak perlu juga saya terangkan kaderisasi yang terus berkesinambungan, sosial kontrol yang tetap berjalan. Cukup saya contohkan dengan aktivitas kawan saya di awal tulisan ini
Lagipula, menyata di warkop, apa salahnya? Warkop bukan tanda matinya intelektualitas. Warkop adalah wadah yang juga mesti dicahayai oleh sinar pencerahan. Kopi-kopi di warkop itu saya pikir cukup bahagia bila diseruput oleh para pemikir dengan diskusi-diskusi kritis.
MATINYA IDEOLOGI
Dalam hemat saya, ideologi pun organisasi dikatakan mati, bila:
Satu, berhentinya kaderisasi dan tiadanya agenda. Yah, bila organisasi tak lagi mengkader dan berhenti beraktifitas, berarti organisasi tersebut telah menjadi kenangan bahwa ia pernah ada.
Dua, tiadanya pengikut. Ideologi tak bisa dikatakan hidup bila tak ada lagi yang menganutnya. Organisasi juga dikatakan mati, bila tak ada yang ingin bergabung ke dalamnya. Orang enggan bergabung ke dalam sebuah organisasi, karena organisasi tersebut tak ada kaderisasinya, atau tak ada agendanya. Karena tak ada agendanya, maka tak ada pula manfaatnya. Artinya, semakin jauhlah ia dari masyarakat, maka matilah ia.
Juga, orang enggan bergabung dalam sebuah organisasi, lantaran adanya pelarangan dari penguasa. Akhirnya, organisasi tersebut perlahan dilupakan karena ditakuti, dan akhirnya mati. Untuk yang terakhir ini, istilah tepatnya bukan mati, tapi dimatikan.
Bagaimana dengan HMI? Apakah sudah mati dengan dua ciri yang saya sebutkan di atas? Apakah kaderisasi dan agenda HMI telah terhenti? Apakah tak ada lagi yang ingin bergabung di HMI?
HMI adalah fakta sejarah, karena itu ia pernah ada. HMI masih dan terus berbuat, karena itu ia masih dan terus ada. HMI tak bisa dimatikan hanya dengan dianggap mati, atau dituding radikal. HMI tak bisa dianggap tiada, hanya karena tak seiya sekata dengan pemerintah
Terkhusus HMI MPO, untuk menegaskan eksistensinya, apakah ia perlu menjawab "tudingan" si Profesor bahwa keberadaannya diinisiasi oleh kelompok radikalis Islam? Yang pastinya, kalau sekedar menegaskan eksistensi, tak perlulah angkat megaphone ke rumah sang Profesor.
*Alfit Lyceum
(Lyceum Philosophia Institute)
0 Comments