🌟Syahadah Muslim bin Aqil di Hari Arafah🌟
Suatu ketika Imam Ali as pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah engkau mencintai Aqil?”
Rasulullah saw menjawab, “Ya, aku mencintainya karena dua hal. Pertama, karena aku mencintai Abu Thalib. Kedua, karena Muslim putra Aqil akan terbunuh dalam kecintaannya kepada putramu, Husain. Air mata orang-orang beriman akan mengalir untuknya, dan para malaikat mengucapkan salam untuk Muslim.”
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Aku mengadukan kepada Allah Swt tentang berbagai musibah yang akan menimpa keluargaku sepeninggalku.” Rasulullah saw menangis tersedu-sedu sampai air matanya menetes ke dadanya.
Muslim bin Aqil dididik oleh pamannya, Imam Ali bin Abi Thalib as. Dengan banyaknya surat dari warga Kufah yang sampai kepada Imam Husain as yang menyatakan dukungan mereka, maka Imam as mengutus Muslim bin Aqil ke Kufah untuk melihat situasinya dan memastikan dukungan tersebut adalah sesuatu yang benar adanya. Saat Imam Husain as membalas surat-surat itu, beliau menulis “Aku mengirim ke hadapan kalian, saudara sepupuku yang aku percaya.”
Dari dua riwayat ini terlihat bahwa derajat Muslim mendekati derajat manusia suci. Kedudukan Muslim di sisi penghulu para syuhada, Imam Husain as sama seperti kedudukan Abul Fadhl, Ali Akbar, dan Qasim.
Ibnu Hibban salah seorang ulama Ahlusunah menulis, "Muslim bin Aqil bin Abi Thalib Hasyimi, panggilan akrabnya Abu Daud di kalangan keturunan Abdul Muthalib ia sangat mirip dengan Nabi Muhammad saw. Ia termasuk dalam golongan sahabat Nabi Muhammad saw".
Muslim pun kemudian melakukan perjalanan ke Kufah. Tujuannya adalah untuk meninjau, apakah warga kota itu benar-benar ingin berjuang bersama Imam Husain untuk menegakkan keadilan?
Muslim pada tanggal 5 Syawal sampai di Kufah, dan menetap di kediaman Mukhtar bin Abi Ubaidah (menurut sebagian literatur, menetap di rumah Muslim bin Ausajah). Warga Kufah yang mengetahui keberadaannya di rumah tersebut, berdatangan untuk mendengarkan surat jawaban Imam Husain as yang dibacakan oleh Muslim bin Aqil.
Awalnya, kedatangan Muslim bin Aqil disambut warga dengan suka cita dan penuh penghormatan. Banyak sekali orang berdatangan menyatakan baiat kepada Imam Husain as. Ibnu 'Asakir menulis, "Di Kufah 12 ribu orang menyatakan baiatnya kepada Imam Husain as melalui kesaksian Muslim bin Aqil". Sebagian riwayat lainnya menyebutkan jumlah total warga Kufah yang berbaiat sebanyak 18 ribu orang, dan sebagian lagi menyebutkan lebih dari 30 ribu orang.
Dengan banyaknya dari warga Kufah yang menyatakan baiatnya kepada Imam Husain as dan menyambut kedatangan Muslim bin Aqil dengan antusias, membuat mata-mata kerajaan menyampaikan hal tersebut kepada Yazid bin Muawiyah sambil menyebutkan bahwa Nu'man bin Basyir lemah sebagai penguasa Kufah, sehingga harus diganti dengan yang lain yang lebih mampu meredam suasana yang mengkhawatirkan bagi kekuasaan Yazid.
Atas laporan tersebut, Yazid menurunkan Nu'man bin Basyir sebagai gubernur Kufah dan mengangkat Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Basrah saat itu, sekaligus sebagai penguasa di Kufah. Yazid mengutus Ubaidillah bin Ziyad untuk datang ke Kufah. Karena Ibnu Ziyad dengan muka tertutup memasuki kota Kufah maka penduduk menduga bahwa dia adalah Husain as yang dinanti dan mereka menyambutnya, namun mereka segera faham bahwa yang datang adalah Ubaidillah.
Dengan datangnya Ubaidillah bin Ziyad di Kufah, Muslim bin Aqil meninggalkan rumah Mukhtar dan menetap di rumah Hani bin Urwah, salah seorang pembesar Kufah. Awalnya Hani tidak ingin Muslim masuk ke rumahnya, namun setelah Muslim masuk ke rumahnya, ia melindungi Muslim secara penuh. Rumah Hani dipilih karena dari sisi sosial, ia lebih berpengaruh dari pada Mukhtar. Semenjak masuknya Ubaidilah bin Ziyad ke Kufah, rumah Hani menjadi pusat aktivitas-aktivitas politik dan militer.
Syarik bin A'war, yang sebelumnya adalah sahabat setia Imam Ali as dan termasuk pembesar kaum Syiah di Basrah, yang juga pernah menjadi sahabat Hani, datang ke Kufah bersama dengan Ubaidillah. Hani datang kepadanya dan mengundang sahabatnya itu ke kediamannya. Hani menempatkan Syarik di kamar yang ditempati oleh Muslim bin Aqil. Ketika Ibnu Ziyad mendengar berita Syarik jatuh sakit, ia mengirimkan pesan bahwa ia akan datang untuk membesuknya besok.
Syarik berkata kepada Muslim bahwa "Tujuan utama Anda dan para Syiah Anda adalah melenyapkan durjana ini dan Allah Swt akan melapangkan jalan Anda dalam urusan ini; karena ia akan datang menjengukku besok, maka bersembunyilah. Tatkala ia datang dan duduk maka keluarlah dari tempat persembunyianmu, dan bunuhlah ia. Kemudian pergilah ke istana dan kuasailah. Bertahanlah di istana. Apabila Allah Swt memberikan kepadaku kesehatan, maka aku akan pergi ke Basrah dan akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk Anda di sana dan mengambil baiat dari masyarakat untuk Anda."
Ubaidillah bin Ziyad akhirnya datang ke rumah Hani namun Muslim tidak melakukan tindakan apapun meski Syarik berulangkali memberi kode, hingga Ubaidillah bin Ziyad curiga dan pergi dari tempat itu. Syarik berkata kepada Muslim, "Apakah karena takut dan lemah yang membuatmu tidak melakukan hal ini?"
"Tidak," sanggah Muslim. "Dua hal yang menghalangiku untuk melakukan hal ini. Pertama, Hani tidak rela Muslim terbunuh di rumahnya. Kedua, sabda Rasulullah Saw yang menyatakan, Iman akan menghindarkan orang untuk membunuh orang secara tiba-tiba dan seorang yang beriman tidak akan membuat orang tercengang dan membunuh tiba-tiba." Jawab Muslim menjelaskan.
Setelah kejadian itu Ubaidillah bin Ziyad makin curiga dan mengutus seorang budaknya untuk mengawasi rumah Hani. Karena Hani tidak bersedia menemui Ibnu Ziyad, maka dengan tipu muslihat yang licik, dengan perantara Muhammad bin Asy'ats Asma bin Kharijah, Amru bin Hajaj Zubaidi –ketiganya pada mulanya merupakan keluarga dan sahabat Hani- maka ia dibawa ke Dar al-Imarah. Karena Hani tidak mau menyerahkan Muslim bin Aqil kepada Ubaidillah, maka ia harus menerima siksaan pahit hingga hidungnya patah dan dijebloskan ke penjara.
Dengan adanya peristiwa tersebut, Kabilah Mudzhaj berkumpul di sekitar istana Ubaidillah bin Ziyad, mereka melakukan protes jika penangkapan tersebut betul-betul terjadi. Ibnu Ziyad lalu memerintahkan kepada Syarih Qadhi untuk melakukan kebohongan kepada kabilah tersebut, sambil berusaha memecah belah diantara mereka. Dengan dukungan 4 ribu orang, Muslim bin Aqil melakukan blokade terhadap istana Ibnu Ziyad dan berunjuk rasa. Mereka meneriakkan slogan, “Wahai penolong ummat!”
Melihat keadaan tersebut, Ubadillah mengumpulkan para pembesar Kufah dan menyusun rencana untuk mengintimidasi orang-orang yang telah berbaiat kepada Muslim, agar mereka semua membatalkan baiatnya. Maka Ibnu Ziyad meminta kepada masing-masing pembesar kabilah untuk mengingatkan kabilahnya, bahwa jika kondisi tersebut dibiarkan, pasukan Yazid bin Muawiyah akan menyerang Kufah dan akan membawa bencana bagi seluruh warga kota tersebut.
Para pembesar tersebut pun mengingatkan kabilahnya masing-masing. Mereka juga membujuk kaum wanita agar menarik kembali suami atau anak mereka, dengan imbalan emas. Sebagian wanita datang menarik tangan suami dan anak-anak mereka dan membawanya pergi sambil mengatakan, “Apa hubungan kita dengan fitnah ini?”
Taktik tersebut berhasil menyebabkan pendukung Muslim bin Aqil mulai berpecah-belah, sampai jumlahnya berkurang drastis. Perlahan-lahan, pasukan Muslim pun bercerai berai. Pada saat Muslim shalat Magrib, hanya tersisa 30 orang yang shalat bersamanya. Saat Muslim keluar dari mesjid, tidak ada seorang pun lagi yang tersisa.
Pada akhirnya, Muslim bin Aqil benar-benar sendiri, bahkan rumah untuk dia menginap pun tidak ada.
Suatu malam, seorang perempuan tua bernama Thau'ah, melihat seorang pria beristrahat di depan rumahnya. Iapun membawakan air minum untuk pria malang itu. Thau'ah kemudian mengenalinya sebagai Muslim bin Aqil, dan memintanya beristirahat di dalam rumah.
Anak laki-laki perempuan tersebut melihat kejadian itu, dan keesokan harinya, ia melaporkan kepada Abdurrahman bin Muhammad bin Asy'ab akan keberadaan Muslim bin Aqil di rumahnya. Lalu paginya, tiga ratus pasukan sudah mengepung di depan pintu rumah Thaw‘ah. Terjadi pertempuran yang sangat sengit. Sedemikian perkasanya Muslim, sehingga ia berhasil membunuh 180 orang dari mereka.
Ibnu Asy‘ats mengirim pesan kepada Ibnu Ziyad bahwa Muslim telah menimbulkan banyak korban, sehingga diperlukan bantuan pasukan kavaleri dan infanteri.
Dalam jawabannya, Ibnu Ziyad mengatakan, “Semoga ibumu berduka lantaran kematianmu. Bagaimana seandainya aku mengirimmu ke medan perang melawan musuh yang lebih tangguh darinya (maksudnya Imam Husain as)?”
Ibnu Asy‘ats menjawab, “Kamu kira engkau mengirim aku kepada salah seorang pedagang sayur kota Kufah?! Muslim seorang pahlawan pemberani, mempunyai pedang yang tajam, dan singa yang tidak mempunyai rasa takut.”
Ibnu Ziyad terpaksa mengirim pasukan tambahan untuk membantu Ibnu Asy‘ats dan berkata, “Gunakan tipu daya dalam menghadapinya. Karena dengan cara lain, engkau tidak akan bisa menang melawannya.”
Lantas mereka membuat tipu daya dengan cara menggali lubang yang dalam, lalu permukaan lubang itu ditutup dan diberi tanah. Kemudian mereka mundur perlahan ke arah lubang itu dan memancing Muslim ke sana. Akhirnya, Muslim terjatuh ke dalam lubang dan mereka segera mengepungnya.
Ibnu Asy‘ats menyabetkan pedangnya ke wajah Muslim, lalu menawannya, melucuti pedangnya dan mendudukkannya ke atas kuda. Muslim mengucapkan ayat, “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali,’ dan air matanya bercucuran.
Ubaidillah bin Abbas berkata, “Untuk apa pemberani sepertimu menangis?!”
Muslim menjawab, “Demi Allah! Aku menangis bukan untukku tetapi untuk Husain dan keluarga Husain.”
Singkat cerita, akhirnya Muslim dibunuh oleh Ibnu Ziyad secara keji, yaitu tubuhnya dilemparkan dari atas atap istana ke tanah pada 9 Dzulhijjah 60 H. Setelah syahidnya Muslim bin Aqil, Hani dengan diikat tangannya dibawa ke pasar daging dan lehernya ditebas oleh Rasyid, budak Ubaidillah dari Turki atas perintah tuannya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kepala Muslim dan Hani dikirim ke Damaskus untuk diperlihatkan kepada Yazid bin Muawiyah. Sementara tubuh kedua syuhada ini setelah diseret di gang-gang kota Kufah, dilemparkan ke tempat sampah yang ada di dekat Mesjid Kufah. Kemudian istri Maitsam Tammar secara sembunyi-sembunyi menguburkan kedua tubuh tersebut pada malam hari di sudut mesjid.
Kabar syahadah Hani dan Muslim sampai kepada Imam Husain as ketika beliau berada di antara jalan Kufah, di rumah seseorang bernama Tsa'labiyah atau Zarud atau Qadasiyah atau Qathqathanah. Imam as menangisi kesyahidan dua sahabat setianya itu dan membaca ayat istirja' lantas beberapa kali mendoakan supaya Allah Swt memberikan rahmat-Nya kepada mereka.
Kembali ke sabda Rasulullah saw yang dikutip di awal tulisan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa menangisi Muslim bin Aqil termasuk perintah agama, sebagaimana penduduk langit, Imam Husain as dan para malaikat menangis untuknya.
0 Comments