Soekarno tentang Keindonesiaan


Soekarno tentang Keindonesiaan

SPIRITUALITAS SOEKARNO TENTANG KEINDONESIAAN

Pancasila merupakan dasar dan ideologi negara yang telah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa. Namun pada implementasinya, keragaman suku, budaya dan agama yang ada di Indonesia masih menimbulkan perbedaan pandangan di masyarakat terhadap pengamalan nilai-nilai Pancasila. Untuk mendorong pemahaman Pancasila secara utuh sebagaimana dirumuskan dan dipahami oleh para pendiri bangsa, kini telah terbit Silapedia, sebuah majalah tentang Pancasila yang terbit dwibulanan. Pada edisi perdana ini, Silapedia mengangkat tema “Mutiara Pancasila Sukarno, dari 1 Juni 1945 hingga 1 Juni 1964”. 
Edisi perdana Majalah Pancasila Silapedia ini mengambil tagline: Pancasila sebagai Ilmu Pengetahuan. Pemilihan tagline yang sekaligus menjadi visi dan misi dari majalah ini berangkat dari keinginan redaksi untuk menghadirkan Pancasila sebagai khasanah ilmu pengetahuan. Hal ini menjadi komitmen dari Silapedia untuk mengembangkan Pancasila sebagai khasanah pemikiran, sehingga dasar negara ini bisa tergerak sebagai khasanah intelektual yang digemari, oleh warga negara Indonesia. 
Menyitir dari istilah yang digunakan Bung Karno dalam pidatonya di sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, Pancasila akhirnya telah disepakati untuk ditetapkan sebagai philosofische grondslag atau sebagai landasan, pondasi, filsafat dasar, dari bangunan besar yang bernama Indonesia. Pancasila dimaksudkan oleh Soekarno pada waktu itu yaitu sebagai asas bersama agar dengan asas itu seluruh kelompok yang terdapat di Indonesia dapat bersatu dan menerima asas tersebut. Pada masa ini, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang ketika itu diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada di dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah menjadi masyarakat merdeka. Masa ini adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila, terutama dalam sistem kenegaraan.  
“Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principle yang nomor dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan, yang boleh saya namakan internasionalisme… Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme”, tegas Sukarno (h. 8). 
Jadi yang dimaksud Sukarno dengan internasionalisme di atas ialah prinsip dan praktik nasionalisme yang tidak chauvinistik, melainkan membangun kekeluargaan antar-bangsa. Kekeluargaan internasional ini dibangun demi terwujudnya perikemanusiaan. Sukarno menyebut internasionalisme dan perikemanusiaan secara bergantian dalam menyatakan sila kedua Pancasila. Internasionalisme dan perikemanusiaan disebut bergantian untuk menunjukkan sifat humanistik dari nasionalisme. 
Demikian pula ketika ia menyatakan, “Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam  perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid, untuk ketuhanan”. Sebagai buah pikiran Sukarno, Pancasila memang ideologi nasionalistik. Meskipun nasionalismenya tidak sekular, melainkan religius atau berketuhanan. Ini terjadi karena nasionalisme Pancasila didasarkan pada ketuhanan sebagai sila kelima. Berbeda dengan konsep Pancasila resmi yang menempatkan ketuhanan sebagai sila pertama. Pancasila Sukarno memang menomorsatukan kebangsaan. Itulah mengapa ia menempatkan kebangsaan ini pada posisi teratas, yakni sila pertama.

Bahkan ketika Pancasila telah resmi dan mengalami perubahan dalam urutan silanya. Sukarno tetap menempatkan kebangsaan sebagai nilai tertinggi di bawah ketuhanan. Ini berarti di dalam pemikiran Sukarno, dan penjelasannya selama ia menjadi Presiden. Sila kedua Pancasila bukanlah kemanusiaan. Melainkan kebangsaan. Mengapa Sukarno menempatkan kebangsaan sebagai sila kedua? Karena sejak awal, yakni sejak 1 Juni 1945, ia menempatkan kebangsaan sebagai sila pertama. Mengapa ia menempatkan kebangsaan. sebagai sila kedua? Karena sejak awal, yakni sejak 1 Juni 1945, ia menempatkan kebangsaan sebagai sila pertama. Mengapa ia menempatkan kebangsaan sebagai sila pertama? Karena sejak awal, Sukarno ialah ideolog nasionalisme Indonesia. 
Penempatan kebangsaan sebagai sila kedua menunjukkan “persetujuan dalam ketidaksetujuan” atas perubahan hierarki nilai dalam Pancasila resmi. Sukarno setuju dengan perubahan posisi ketuhanan, dari sila kelima menjadi sila pertama. Namun ia nampaknya tidak setuju dengan penempatkan kemanusiaan sebagai sila kedua. Mengapa? Karena hal itu akan mengubah sifat dasar Pancasila, dari ideologi nasionalisme, menjadi ideologi selain nasionalisme. 
Setelah mengusulkan dasar utama kebangsaan, yang bersifat internasionalis itu, maka Sukarno lalu menawarkan sistem politik yang menopak kebangsaan. Sistem tersebut ialah permusyawaratan dalam perwakilan. Artinya, demokrasi berbasis tradisi musyawarah. Dalam kaitan ini, demokrasi permusyawaratan tersebut ia jadikan jaminan bagi tersalurnya aspirasi berbagai kelompok, termasuk kelompok Islam. Ini juga menjadi strategi Sukarno untuk menggaet dukungan dari kelompok Islam. 
“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara Islam… Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat”, demikian imbuhnya. Bukan hanya untuk kelompok Islam, permusyawaratan juga bisa dimanfaatkan oleh umat Kristiani. Menurut Sukarno, “Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk Badan Perwakilan Indonesia ialah orang Kristen” jelas Sukarno.
Pun, dalam kaitan dengan kesejahteraan sosial, ia tidak berdiri sendiri sebagai sila, akan tetapi menyatu dengan sila-sila lainnya, terutama kebangsaan dan demokrasi. Sebab makna kebangsaan yang berperikemanusiaan, tiada lain ialah kebangsaan yang menyejahterakan rakyat. Usulan kesejahteraan sosial sebagai sila keempat, yang menyifati sila kebangsaan dan demokrasi ini sekaligus menjadi visi utama Sukarno dalam meramu Pancasila. Rumusan ini ia dasarkan pada ide Sun Yat Sen tentang tiga pilar ideologi Tiongkok, yakni San Min Chu I, yang berisi Minstu, Min Chuan, Min Cheng: nationalism, democracy, socialism. Untuk menjadi Pancasila, Sukarno lalu menambahi dua nilai, yakni internasionalisme dan ketuhanan. 
Setelah mengusulkan kebangsaan, internasionalisme, permusyawaratan dan kesejahteraan sosial. Sukarno lalu mengusulkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila kelima Pancasila. Mengapa diletakkan sebagai sila kelima, dan bukan sila pertama? Karena Pancasila Sukarno ialah Pancasila yang nasionalistik. Satu hal yang berbeda dengan Pancasila resmi yang lebih bersifat teologis. Dalam gagasan nasionalisme itu, terdapat ketuhanan yang menjadi sila paling akhir. Posisi akhir ini bisa dimaknai sebagai dasar yang melandasi sila-sila di atasnya.  
Sukarno menutup Pancasila dengan religiusitas. Ketuhanan yang dimaksud, dalam penghayatan Sukarno, ialah ketuhanan Islam. Hanya saja selain penghayatan oleh Sukarno sendiri, ketuhanan yang diusulkan juga merupakan “ketuhanan yang berkebudayaan”. Namun, berdasarkan fakta pidato Sukarno tentang sila ketuhanan ini, maka sila ketuhanan yang diusulkan Sukarno, bukanlah sila ketuhanan yang berkebudayaan. Melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sukarno menyatakan, “…bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan”. Namun dalam alinea itu, ia lalu menutup dengan pernyataan, “Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebuah prinsip ketuhanan yang tanpa egoisme beragama, sehingga melahirkan praktik beragama yang toleran, dan saling menghormati antar-umat beragama. Oleh karena itu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rumusan Pancasila resmi, sebenarnya mengacu pada sila ketuhanan pada ide Pancasila 1 Juni. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila inklusif, yang merupakan revisi terhadap sila Ketuhanan.
 Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa ketuhanan yang berkebudayaan ialah cara mengamalkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang dimaksud berkebudayaan di sini ialah hormat menghormati antar-umat beragama, serta perlindungan terhadap kebebasan dalam beragama. Ini berarti, teologi yang diusulkan Sukarno bukan teologi sinkretik, melainkan monoteisme. 
Dengan keberadaan sila ketuhanan ini, usulan Pancasila oleh Sukarno diterima oleh, baik kelompok kebangsaan, maupun kelompok Islam. Sebab bagi kelompok kebangsaan, sila ketuhanan ialah sila umum yang tidak mewakili doktrin agama tertentu. Dengan demikian, ia bukan aspirasi dasar negara agama. Sedangkan bagi kelompok Islam, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai sebagai cerminan dari tauhid. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Pancasila merupakan cerminan dari nilai-nilai agama, sehingga tidak mungkin agama sebagai musuh Pancasila. Kedua, nilai-nilai Pancasila merupakan objektivasi dari nilai-nilai Islam. Artinya, Islam memanifestasikan nilai-nilainya ke dalam Pancasila. Ini berarti sejak sila ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial merupakan manifestasi atau objektivasi nilai-nilai Islam. Sila-sila Pancasila tersebut merupakan kehadiran nilai-nilai Islam. Sehingga tidak mungkin dasar negara ini bertentangan dengan Islam. 
Konsep Pancasila yang disampaikan oleh Soekarno di atas, merupakan sebuah pikiran dan cita-cita yang melalui sebuah proses perenungan yang cukup panjang dan matang. Perenungan dari sebuah pencarian spritualitas hidup selama pengasingannya di Kota Ende. Selama pengasingannya di Ende membawa hikmah pada sebuah spiritualitas yang selama di Jawa tidak pernah terfikirkan. Kota Ende merupakan tempat Soekarno mematangkan cita-cita yang akan menjadi dasar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pancasila yang dikenal sekarang ini merupakan sebuah embrio yang sudah ada dalam benak Soekarno.  

Proses pembentukan gagasan yang masih dalam bentuk embrio itu dimatangkan selama pengasingannya di Ende. Kota Ende yang letaknya di tengah Pulau Flores adalah tempat Soekarno menemukan ide tentang dasar falsafat yang dapat berfungsi untuk menyatukan bangsa Indonesia yang bersifat majemuk. Letak Kota Ende sangat terpencil jauh dari keramaian dan pemberitaan masa telah merubah strategi perjuangan Soekarno selanjutnya. Pengasingan di Kota Ende memaksa Soekarno untuk mengolah kembali semua pemikirannya dengan banyak meluangkan waktu untuk merenung. 
Ngatawi Al-Zastrow  mengatakan bahwa Ende merupakan tempat rahim Pancasila. Rahim ini tempat pembuaian. Benihnya sudah sejak lama. Pada saat sepi, Sukarno berdialog dengan hatinya, di sini. “Gua Hira”-nya Bung Karno itu di sini,” kata Ngatawi. Seperti Gua Hira, rumah pengasingan ini adalah tempat Sukarno bertafakkur, merenung, dan berdialog dengan dirinya, dan kemudian mendapatkan ilham Pancasila. 
Tentu saja ilham Pancasila tidak datang secara tiba-tiba. Ada proses panjang yang oleh Ngatawi dibagi ke dalam tiga fase. Pertama, fase eksplorasi terhadap ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Ayat qauliyah adalah ayat-ayat Allah yang termaktub dalam kitab suci. Sedangkan ayat kauniyah adalah ayat-ayat Allah yang tersebar dalam banyak tanda alam semesta. Kedua, fase internalisasi spirit nilai yang ada di dua ayat itu. Ketiga, fase eksplorasi. Yaitu fase di mana ayat-ayat itu dimuntahkan kembali untuk direkonstruksi. Ayat kauliyah dan kauniyah didialektikakan, antara Barat modern dan tradisional didialogkan, lalu lahirlah Pancasila. “Dan itu semua, menemukan sintesanya di tempat ini. Maka tempat ini adalah rahim, dan pembuahannya dilakukan Bung Karno ketika berdialog dan mendialektikan ayat kauniyah dan kauliyah tadi,” Ngatawi melanjutkan. Kelebihan Sukarno, kata Ngatawi, adalah kemampuannya menautkan antara pengetahuan warisan leluhur dengan pengetahuan baru yang datang dari Barat. Karena itulah, Ngatawi menyebut Sukarno sebagai intelektual otentik Nusantara. 
Syaiful Arif, Pemimpin Umum Majalah Pancasila Silapedia, setuju dengan pernyataan Ngatawi Al-Zastrow bahwa Ende adalah rahim Pancasila. Suasana Ende yang sepi dan masyarakatnya yang apolitis membuat Sukarno lebih banyak bergulat dengan dirinya. Ini tergambar dari tata letak kamar di rumah pengasingan yang menyediakan satu kamar khusus untuk semedi. Sampai saat ini kamar itu masih lestari. Tertulis di pintu masuk: kamar semedi dan salat. “Di Ende ini, kepekaan Sukarno tumbuh. Aktivisme politik tidak bisa, maka tumbuh aktivisme spiritual dan kebudayaan,” kata Syaiful Arif. 
Arif mengatakan, sebelum ke Ende, Sukarno sudah menemukan empat sila dalam pancasila, yakni kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan. Belum ada sila ketuhanan dalam empat sila itu. Meski Sukarno sering berbicara tentang keislaman, tetapi belum terpikir olehnya untuk memasukkan ketuhanan dalam sila-sila itu. Di sinilah peran penting Ende. “Disinilah nilai ketuhanan muncul kembali. Jadi tanpa Ende, tanpa penemuan lagi Bung Karno atas ketuhanan, tidak ada Pancasila. Setelah itu jadilah pancasila dengan 5 silanya,” tuturnya. 
Arif membagi proses penggalian Pancasila oleh Sukarno ke dalam empat fase. Pertama, fase perkenalan dan pertemuan dengan sosialisme Islam. Fase itu dimulai pada tahun 1918 saat Sukarno untuk pertama kalinya bertemu ideologi politik di Indonesia, yaitu ketika mondok di rumah HOS Cokroaminoto, tokoh Sarekat Islam. Di sana dia menjadi aktivis sosialisme Islam, yang menyuarakan solusi Islam atas persoalan kolonialisme. 
Kedua, fase perkenalan dengan nasionalisme modern saat dia kuliah di Bandung. Pada tahun 1920-1930 di aktif di Bandung dan ketemu tiga serangkai: Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusomo. Terutama dengan Douwes Dekker. “Itu dia guru nasionalisme modern,” kata Arif. 
Ketiga, fase Sukarno berusaha mencari titik temu dari tiga ideologi besar yang saling berbenturan, yaitu sosialisme, nasionalisme, dan marxisme. “Jadi pertikaian tiga ideologi besar inilah yang menjadi latar pemikiran Bung Karno untuk meramu titik temu,” lanjutnya. Keempat, ini fase tarakhir yang paling menentukan, yaitu fase di mana Sukarno menemukan kembali nilai Ketuhanan dan berhasil melakukan sintesa atas semua ideologi yang muncul di kalangan pejuang kemerdekaan. “Maka tanpa Ende, tanpa penemuan kembali ketuhanan, maka tidak ada Pancasila,” kata Arif. 
Sukarno menjalani pengasingan di Ende selama empat tahun. Selama empat tahun itu, ia menjalani aktivisme spiritual dan kebudayaan. Aktivisme itu ia lakukan dengan tafakkur, merenung, semedi, membaca, diskusi, membuat tonil, dan kemudian dipentaskan di hadapan masyarakat. Dari aktivisme itu ia menemukan Pancasila. Dan mempersiapkan diri memimpin perjuangan menuju Indonesia Merdeka. 
Penemuan pancasila itu diabadikan dengan patung Sukarno di Taman Renungan, yang dibuat seperti sedang duduk termenung di bawah pohon sukun bercabang lima. Patung memiliki pose seperti sedang menatap ke arah laut. Kini, di bawah pohon sukun itu terpahat kalimat di sebuah batu marmer hitam yang menjadi ruh dari perjalanan Sukarno di Ende, “Di kota ini kutemukan lima butir mutiara. Di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila."  
Kepala BPIP, Prof. KH Yudian Wahyudi, mengatakan bahwa sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila di kemudian hari telah diterima oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dalam dukungan dua Ormas Islam terbesar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sejak era 1980. Akan tetapi memasuki era Reformasi, menurut Yudian, asas-asas organisasi termasuk partai politik boleh memilih selain Pancasila, semisal Islam. Hal ini merupakan ekspresi “balas dendam” terhadap kebijakan Asas Tunggal Pancasila era Orde Baru yang dinilai semena-mena. “Dari situlah sebenarnya Pancasila sudah dibunuh secara administratif”, demikian penjelasan Prof. Yudian. 
Selain hal tersebut, bekalangan muncul kelompok yang mereduksi agama sesuai dengan kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Yudian, kelompok yang sebenarnya minoritas (di kalangan umat Islam) ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas karena mengatasnamakan agama Islam. Selanjutnya Yudian menyatakan, “Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan”. Yudian menunjukkan fakta di masyarakat bahwa terdapat kelompok keagamaan yang menolak Pancasila atas nama agama. Kelompok ini minoritas namun mengklaim sebagai mayoritas karena mendasarkan diri pada Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. 
Yudian menambahkan bahwa dasar negara RI ini merupakan titik temu antar berbagai agama. Titik temu antar-agama ini dimungkinkan karena di dalam Islam terhadap prinsip maqashid al-syari’ah yang menghadirkan nilai-nilai universal, tempat agama-agama bertemu. Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, bahwa sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, mencerminkan doktrin tauhid. Untuk itu, tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. (hal. 34-38)
Dari sini Silapedia, edisi perdana tentang pemikiran Pancasila Sukarno, menjadi upaya awal untuk misi tersebut. Mengapa Sukarno? Karena ia merupakan penggali Pancasila. Dengan demikian, berangkat dari Sukarno menjadi langkah awal yang berpijak pada akar. Menghadirkan pemikiran Sukarno juga penting, sebab hingga saat ini, masih terjadi dis-informasi terkait perannya dalam kelahiran Pancasila. Penerbitan perdana Silapedia menjadi upaya untuk meluruskan penyimpangan informasi sejarah tersebut, agar anak bangsa bisa memahami dengan tepat, sejarah kelahiran Pancasila. 

0 Comments