By. Firman Noor (Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI)
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia yang dulu pernah bernama Dewan Mahasiswa (DEMA) UI dan bertransformasi menjadi Senat Mahasiswa (SM) UI memiliki track record mengsesankan sebagai bagian dari agen perubahan (agent of change). Ditarik ke belakang lagi malah bisa sampai pada gerakan mahasiwa STOVIA yang kemudian melahirkan Boedi Oetomo 1908.
Peran itu berlanjut pada tahun 1966, 1970-an hingga di awal Era Reformasi. Peran mahasiswa UI, dan sejatinya mahasiwa pada umumnya, hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah keharusan di setiap zaman, khususnya dimana terdapat tendensi yang kurang pas dari praktik kekuasaan, termasuk segala kebijakannya.
Dalam kasus penjulukan “The King of Lips Service” oleh BEM UI, yang ramai akhir-akhir ini, seharusnya kita dapat melihatnya dalam kerangka sebagai agen perubahan itu. Ini penting dipahami agar kita dapat mendudukan masalahnya sesuai dengan proporsinya. Aksi BEM UI itu sejatinya hanyalah reaksi mahasiwa atas sebuah kondisi yang riil.
Bukan Didasari Fantasi
Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus mendasarkan dirinya pada sebuah realitas, bukan fantasi atau apalagi kebencian. Dalam hal itu, tampak jelas bahwa mahasiswa sebagai manusia yang berpikir tentu tidak mengeluarkan sebuah pernyataan yang hanya dilandasi oleh halusinasi.
Mereka bukan hanya sekumpulan manusia yang dituntut menggunakan nalar dan logika di kampusnya, tapi juga pimpinan kaum terpelajar di kampus ternama. Mereka tentu bukan kalangan sembarangan.
Manakala mereka memberikan label kepada Presiden, hal itu bukan didasari oleh omong kosong, melainkan suatu realitas. Nyatanya memang ada kalanya pernyataan Presiden yang akhirnya berujung sekedar pernyataan belaka atau sekadar pemanis bibir.
Dalam kritiknya itu BEM UI memberikan contoh beberapa kasus mutakhir seperti rindu didemo, penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perubahan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bagi sebagian kalangan contoh-contoh itu dianggap tidak tepat. Tapi bagi sebagian lain, justru relevan.
Soal demonstrasi, misalnya, kerinduan Presiden atas demonstrasi kerap direspon dengan keras oleh aparat keamanan. Survei Indikator Politik Indonesia (2020) mengungkap sekitar 57,7% masyarakat menilai aparat semena-mena dalam menangani warga yang berbeda pendapat. Akibatnya, saat ini justru tercipta situasi dimana masyarakat mulai ragu untuk menyuarakan aspirasinya. Survei di lembaga yang sama juga menunjukkan 79,6% responden justru takut menyuarakan pendapat.
Adapun dalam soal KPK, sulit untuk dibantah bahwa banyak kalangan yang menyayangkan kondisi KPK saat ini, yang dirasa mengalami penurunan kualitas. KPK dewasa ini, misalnya, justru terbukti termasuk institusi yang mulai tidak bisa dipercaya publik -- hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Sebaliknya, KPK dulu selalu di papan atas sebagai lembaga yang dipercaya dalam berbagai survei.
Begitu pula dengan perubahan UU ITE.
Masyarakat berharap terjadi perubahan yang substansial (selain juga implementasinya) pada perubahan itu, yakni semakin minimnya eksistensi pasal-pasal karet yang memungkinkan adanya intepretasi penguasa yang dapat meggangu hak-hak sipil, khususnya kebebasan berpendapat.
Namun harapan itu juga jauh panggang dari api.
Sayangnya sikap Presiden sejauh ini belum pula menunjukan indikasi kuat untuk mengakui adanya ketidaktuntasan dalam realisasi pernyataan-pernyataannya.
Tugas Mahasiswa
Peran kritis mahasiswa, sebagai agen perubahan, saat ini jelas diperlukan. Apalagi melihat kondisi demokrasi kita sekarang. Terjadi degradasi kualitas demokrasi yang serius, ditandai salah satunya dengan kurang didengarnya aspirasi akar rumput dalam beberapa pembuatan kebijakan penting.
Di sisi lain, oligarki semakin menggejala dan berkuasa. Hampir semua pemegang kunci-kunci kekuasaan baik di pusat dan daerah, telah terjerat olehnya. Dalam lanskap, politik mutakhir, kombinasi antara oligarki dan politikus pragmatis telah menumbuhkan tembok status quo yang tak terbendung. Hal ini menyebabkan terjadinya stagnansi.
Kondisi politik juga semakin mengalami kemunduran dalam beberapa hal. Saat ini Indonesia sesungguhnya contoh dimana keberadaan demokrasi tidak juga mampu mengeliminasi eksistensi oligarki (Ford & Pepinsky, 2014, 2). Tidak hanya itu, keteladan pun semakin jarang terlihat, seiring dengan etika politik yang kerap makin diabaikan.
Oleh karena itu, sikap kritis mahasiswa bisa jadi merupakan penawar bagi situasi ini, baik pada pemerintah pusat maupun daerah. Saat ini justru adalah momentum bagi mahasiswa untuk menjemput peran pentingnya dalam kehidupan politik kita, yakni sebagai agen perubahan, menuju kondisi dimana perkataan dan perbuatan para pemimpin benar-benar seiring sejalan, tanpa drama, tanpa sandiwara.
0 Comments