Muhammadiyah Jawa

Gambar: Mbah Dahlan yang tampil gagah dengan kumis dan jenggot diambil dari Wikimedia

Muhammadiyah Jawa
By. Makinuddin Samin (penulis novel sejarah Ahangkara dan Ranggalawe, Javanica)

Betapa kerasnya Muhammadiyah melakukan gerakan pemberantasan Tahayul, Bidah, dan Khurafat, yang biasa disingkat dengan “TBC” di masyarakat, bahkan tak jarang terjadi ketegangan antar pendukung gerakan dan masyarakat yang masih mengukuhi budaya tradisi dan Jawa. Kita bisa mendapati gambaran konflik tersebut dalam buku “Puritan & Sinkretis” karya Sutiyono yang disusun berdasarkan penelitian di Klaten Jawa Tengah untuk keperluan disertasinya. 

Apakah Muhammadiyah sengaja didirikan untuk memusuhi budaya lokal, khususnya Jawa? TIDAK! Justru sebalilknya, generasi pertama persyarikatan ini sangat kental dengan kejawaan. Mereka mampu menyatukan tradisi dan budaya lokal dengan gerak langkah persyarikatan.

Pada zaman para pendirinya masing memegang kendali organisasi, kita mendapati wajah persyarikatan ini berbeda sama sekali dengan gambaran Sutiyono dalam buku di atas. Bahkan bisa dibilang Muhammadiyah sangat kental dengan tradisi dan budaya Jawa. 

Najib Burhani, ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Tahun 2015-2020 menyebut Muhammdiyah pada generasi pertama, era generasi K. H. Ahmad Dahlan sebagai “Muhammadiyah Jawa” untuk menggambarkan betapa eratnya hubungan persyarikatan dengan budaya Jawa. Catatan Mas Najib dalam buku yang berjudul “Muhammadiyah Jawa” menjelaskan bahwa Muhammadiyah telah bergeser jauh dari era saat para pendirinya masih hidup dengan praktik persyarikatan seperti yang digambarkan dalam penelitian Sutiyono.

Berikut gambaran relasi Muhammadiyah dengan tradisi dan budaya Jawa saat itu:

1. Menggunakan kalender Jawa jangkep/lengkap dengan pasaran Jawa (Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing);

2. Pada konggres 1925, persyarikatan menggelar pertunjukan wayang yang oleh seorang orientalis bernama R. Kern disebut sangat sinkretik;

3. Pada saat al-Jizawi, seorang Shekh al-Azhar melarang penerjemahan al-Quran dalam Bahasa asing, Muhammadiyah justru menerbitkan kitab suci itu dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Jawa (aksara Jawa dan latin);

4. Pada konggres ke-18 di Solo pada 1929, peserta konggres diwajibkan mengenakan pakaian tardisional daerahnya masin-masing; utusan dari Jawa yang mengikuti konggres diminta mengenakan setelan lengkap dengan keris, beskap, blangkon, dan kain batik;

5. Kepada para murid-muridnya, Kyai Dahlan juga membolehkan shalat menggunakan Bahasa Jawa bagi yang tidak menguasai Bahasa Arab;

6. Hebatnya lagi, Kyai Dahlan sendiri adalah orang yang bertugas memimpin gerebek (semacam sedekah bumi) yang diselenggarakan Keraton Kesultanan Yogyakarta pada peringatan Maulid Nabi, dll;

Praktik berislaman yang toleran terhadap tradisi dan budaya local seperti itulah yang membuat para anggota Boedi Oetomo, yang terdiri dari priyayi Jawa penganut teosofi dan agnostik tertarik kepada Muhammadiyah. 

Pertanyaannya, sejak kapan Muhammadiyah mulai bergeser, bahkan berbeda sama sekali dengan praktik relasi Islam, budaya, dan tradisi yang dibangun para pendirinya? Tunggu tulisan berikutnya.
-
Muhammadiyah pada awalnya didirikan untuk dua tujuan: Menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad dan memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya
Dua tujuan itu akan dicapai dengan: 
  1. Mendirikan sekolah dengan mengajarkan agama sekaligus pengetahuan umum;
  2. Menyelenggarakan pengajian ajaran Islam di sekolah pemerintah, swasta, dan luar sekolah;
  3. Mendirikan langgar dan mushala; dan 
  4. menerbitkan buku, surat kabar, selebaran, brosur, dan koran yang berisi soal-soal agama. 
Melihat kegiatan-kegiatan persyarikatan di awal, tak tampak bahwa Muhammadiyah bakal berubah menjadi organisasi yang—meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan dalam Marhaenis Muhammadiyah—“cenderung syariahistis”. 
Menurut Mulkhan, rumusan syariahistis itu muncul sesudah masa Kyai Ahmad Dahlan. Pada era Kyai Dahlan, Muhammadiyah lebih bersifat kultural, dengan mengedepankan nilai-nilai akhlak dari pada formula syariah. 

Najib Burhani dalam buku Muhammadiyah Jawa sedikitnya menyebut empat faktor yang menyebabkan pergeseran gerakan Muhammadiyah:

  1. Masuknya Muhammadiyah ke Tanah Minang yang dibawa oleh Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka. Haji Rasul adalah ulama puritan yang ingin memurnikan ajaran Islam dari unsur non-Islam. Menurut Deliar Noer, seperti dikutip oleh Najib, menyebut bahwa Haji Rasul memiliki cara yang keras, tanpa ampun, dan tablighnya diwarnai dengan kritik dan serangan terhadap semua praktik yang tidak disetujuinya. Saat Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada 1930, Haji Rasul memaksa panitia untuk membatalkan pertemuan bersama laki-laki dan perempuan yang dipisahkan tirai untuk mendengarkan pemimpin Aisyiah menyampaikan pidatonya;
  2. Berdirinya Majelis Tarjih pada Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta pada 1928. Awalnya Tarjih didirikan untuk menangani soal-soal khilafiyah dalam agama. Mulkhan menyebutkan bahwa formalisme syariahisme memuncak ketika Tarjih berkembang menjadi lembaga fatwa syariah. Fatwa Tarjih pada 1932, misalnya, mengharamkan kegiatan api unggun seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak pramuka. Kegiatan ini dinilai sebagai bidah;
  3. Melawan kebijakan pemerintah kolonial yang dianggap ingin menjinakkan Islam melalui dukungannya terhadap adat. Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada 1933 memproklamirkan perang melawan adat;
  4. Pengaruh ideologi Wahabi dalam organisasi, terutama setelah Hijaz dikuasai oleh Saudi Wahabi. Najib menyebut, akibat dari pengaruh Wahabi tersebut Muhammadiyah lantas kurang toleran terhadap tradisi masyarakat setempat. 
Pertanyaannya, apakah dalam praktiknya Muhammadiyah menjadi organisasi yang intoleran? Tentu saja jawabannya tidak. Sebagai organisasi besar persyarikatan ini bukan entitas tunggal. Mulkhan menggolongkan empat model orang Muhammadiyah: 

  1. Kelompok Al-Ikhlas. Kelompok ini tipe pengikut paling konsisten dan fundamentalis dalam mengamalkan Islam murni menurut syariah yang telah dibakukan oleh Tarjih, bahkan kelompok ini memandang sebagian tuntunan Tarjih masih kurang murni;
  2. Kelompok Kyai Dahlan. Kelompok ini mengukuhi Islam murni, tapi toleran terhadap praktik tahayul, bidah, dan khurafat;
  3. Neo-tradisionalis. Kelompok ini masih melakukan tahlilan, sepasaran, dan slametan. Hal ini masih dilakukan sebagai tradisi, sarana dakwah, atau penghormatan kepada orangtua. Kelompok ini juga disebut sebagai Munu, Muhammadiya-NU;
  4. Neo-sinkretis. Kelompok ini dianggap kurang menaati syariah, masih menganggap slametan memiliki tujuan magis. Kelompok ini juga disebut Munas, Muhammadiyah Nasionalis. 

Jika Anda Muhammadiyah, Anda termasuk golongan mana? Kalau aku Muti, mung sliramu kanthilaning ati (hanya kamu yang lekat di hati).


Oleh Makinuddin Samin (penulis novel sejarah Ahangkara dan Ranggalawe, Javanica)

0 Comments