By. Rahmad Darmawan
"Lebih mudah bagi seekor unta masuk lubang jarum, ketimbang seorang kaya untuk masuk kedalam surga" (Yesus)
“Allahumma ahyinii miskiinan, wa amitnii miskiinan, wahsyurnii fii jumratil masaakiin”.
“Artinya : Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin”. (Doa Baginda Nabi Muhammad)
Dua statement dari kedua Guru Besar umat manusia di atas adalah sebuah tamsil, sebuah ibarat, sebuah harta di ranah batin yang sangat berharga yang tidak bisa dipahami oleh 'mind' ecek-ecek yang tidak pernah mencicipi manisnya sadhana atau disiplin spiritual.
Kedua master di atas, baik Yesus maupun Muhammad, berasal dari kalangan bangsawan yang sudah kenyang dengan kekayaan dan kemewahan duniawi.. Baginda Muhammad, sebagaimana kita baca dalam riwayat, adalah saudagar kaya yang sejak muda sudah sangat sering melakukan perjalanan ke luar negeri melewati jalur dagang para saudagar Nabatea, berinteraksi dengan banyak saudagar lainnya di banyak tempat dan negara. Sementara Yesus sendiri, saya pernah baca bahwa saat beliau disalibkan, jubah beliau jadi rebutan, karena memamg berkualitas sangat bagus dan berharga sangat mahal. Yesus muda bahkan mengenyam pendidikan di Bharat (India) selama belasan tahun. Hanya orang kaya saja yang memiliki privilege seperti itu.
KEMISKINAN, KEKAYAAN, EGO, REALITAS DAN SPIRITUALITAS.
Namun, tiba-tiba, dalam kedua pernyataan di atas, mereka berdua seolah-olah menunjukkan bahwa mereka anti kekayaan dan pro dan mengadvokasi kemiskinan. Bukankah sesuatu yang aneh dan bertolak belakang?
Tidak. Kekayaan yang ditentang oleh Yesus maksudnya adalah keterikatan pada harta benda, status sosial, hubungan dan segala hal yang tidak akan pernah akan kita bawa ke 'seberang sana', saat kita meninggalkan dunia. Keterikatan pada hal-hal tersebut sejatinya adalah keterikatan pada fata morgana, pada kepalsuan, pada sesuatu yang tidak nyata dan berbasis pada realitas.
Sementara kemiskinan yang diagungkan Nabi Muhammad, sejatinya adalah kebalikan dari kekayaan yang ditentang oleh Yesus. Miskin di sini artinya miskin ego, miskin 'rasa kepemilikan'. Karena miskin akan rasa kepemilikan, maka di lain sisi timbangan seseorang akan kaya akan rasa puas atau qanaah.
Jenis kekayaan yang ditentang Gusti Yesus maupun jenis kemiskinan yang diadvokasi oleh Baginda Nabi Muhammad sejatinya merupakan 'tools' atau piranti untuk mengarahkan batin kita untuk bisa melihat kebenaran hidup.
Mari kita lihat contoh berikut ini.
Seorang yang sangat kaya yang memiliki begitu banyak mansion, yang sebagian dari mansion itu hanya dia kunjungi mungkin setahun sekali. Mungkin malah tidak pernah dikunjungi sama sekali. Karena bahkan harta kekayaannya pun dia sudah tidak sanggup menghitung. Tapi, jenis kenikmatan dan kesenangan apa yang bisa sikaya nikmati dari kekayaannya? Kalau mata dia bagus, dia bisa menikmatinya dengan matanya, dengan penglihatannya. Kalau pendengarannya bagus, dia bisa mengakses musik-musik pilihan. Makanan? Seenak dan semahal apa pun, ya maksimal dua porsi sekali makan. Kalau tidak pingin sakit dan menderita.
Jenis kenikmatan tersebut sama dengan jenis kenikmatan yang bisa dirasakan oleh para staff atau pengurus yang bekerja di mansion-mansion yang dimiliki oleh si kaya yang tidak pernah si kaya kunjungi. Bedanya hanya di rasa kepemilikan. Si kaya 'merasa memiliki'.
Ya, merasa memiliki. Di dunia benda ini, kepemilikan sejatinya adalah perasaan yang divalidasi oleh sekian banyak pihak. Itu pun belum tentu sesuai dengan kenyataan. Anda 'merasa punya mobil', dan rasa itu divalidasi oleh tulisan di atas kertas yang menyatakan bahwa itu mobil 'milik anda'.. Dan anda naik dan menikmati mobil milik anda tersebut. Tapi saya yang 'tidak merasa punya mobil' dan tidak ada kertas yang menuliskan bahwa saya punya mobil, saya tetap bisa sering menikmati naik mobil. Saya sering naik 'Gocar'. Dan kelak, ketika Anda dan saya mati, kita sama-sama gak bisa bawa mobil ke alam sana. Yang kita bawa adalah perasaan kita, pikiran kita yang berasosiasi dengan mobil. Perasaan memiliki mobil akan mengikat dan membelenggu, serta membingungkan pikiran Anda, karena ternyata, realitasnya, tidak ada yang bisa Anda dan saya miliki di dunia benda ini, termasuk 'mobil'... Semuanya ada, tersedia, untuk kita gunakan dalam rangka memfasilitasi evolusi batin kita.
Sama dengan kepemilikan terhadap benda, demikian pula rasa kepemilikan terhadap orang, khususnya pasangan, yang sering sekali membingungkan banyak jiwa. Kalau benda saja tidak bisa kita bawa mati, apalagi orang. Saat masih hidup pun, Anda tidak bisa 'membawa' pasangan anda. Tidur satu ranjang dengan Anda selama bertahun-tahun, tidak menjamin pasangan Anda tidak memikirkan pria/wanita lain. Atau sebenarnya dia memiliki misi, aspirasi hidup yang sama sekali tidak berkaitan dengan Anda, yang tidak pernah dia ceritakan pada siapa pun termasuk Anda.
Jadi, kekayaan yang ditentang Gusti Yesus adalah kemelekatan pada ilusi, pada kehampaan, yang hanya akan membawa kita pada neraka penderitaan, kebingungan, dan keputus-asaan. Sementara kemiskinan yang diadvokasi oleh Baginda Nabi Muhammad adalah kemiskinan ego, kemiskinan rasa kepemilikan pada hal-hal yang sejatinya memang tidak pernah kita miliki. Kemiskinan yang memerdekakan dan membawa kita bertatap muka pada kekayaan batin yang sejati yang ada di dalam diri. Surga di dalam diri yang kita adalah ahli waris satu-satunya.
Dipiblikasi: Mappasessu - Mahasiswa Kehidupan
0 Comments