Oleh Marwan Mas Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap judicial riview (uji materi dan uji formil) terhadap UU Nomor
19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30/2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (revisi UU
KPK), dibacakan pada 4 Mei 2021. Putusan ini sudah banyak
mendapat sorotan dari berbagai kalangan lantaran dinilai tidak memihak pada
kebutuhan pemberantasan korupsi yang diperankan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Ternyata MK
memutuskan eksistensi KPK sebagai institusi pemberantasan
korupsi yang selama ini begitu dipercaya rakyat tetap dalam posisi kritis. Itu
tegambar dalam putusan minimalis KPK lantaran hanya sebagian kecil uji materi yang
dikabulkan, sedangkan uji formil ditolak. Akibatnya, revisi UU KPK tetap berlaku dengan segala kelemahannya lantaran mengekang pelaksanaan
tugas dan kewenangan KPK.
Minimalisasi putusan MK akibat hanya pada penyadapan telepon,
penggeledahan, dan penyitaan yang tidak perlu mendapat izin
tertulis dari
Dewan Pengawas (Dewas). KPK hanya memberitahukan kepada Dewas paling
lama 14
hari kerja sejak selesai dilaksanakan. Memang ini selalu dikritisi
karena menghambat pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
Hanya saja sangat minimalis, sebab pada sisi lain MK tidak jeli dan adil
dalam pemberian izin tertulis bagi penyidik KPK dalam melakukan penindakan. MK
menolak permohonan uji materi saat akan memeriksa pejabat negara yang diduga
terkait dengan korupsi. KPK harus tetap mendapat
izin tertulis dari Dewas saat akan memeriksa atau meminta keterangan
pejabat negara.
MK tetap saja melindungi pejabat negara dan pembentuk undang-undang dari
sentuhan KPK yang menjadi subjek hukum
bagi KPK dalam
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi (Pasal 11
huruf-a UU KPK). Mereka adalah aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.
MK juga menolak permohonan uji materi penghentian penyidikan dan penuntutan
(SP3), sehingga KPK ke depan tidak bisa bekerja sesuai harapan publik. Betapa
tidak, pemberian SP3 di kepolisian lebih cenderung tidak maksimal akibat masih sering
disalahgunakan oleh oknum penyidik yang dapat menjalar di KPK. Bahkan MK juga
menolak permohonan pengembalian independensi pagawai KPK agar tidak
dialihkan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Akibatnya, semua pegawai KPKharus beralih status menjadi ASN (PNS).
Ada kesan negatif yang tergambar di ruang publik soal penolakan uji formil
dan hanya sebagian kecil (minimalis) saja uji materi yang dikabulkan MK. Integritas
delapan hakim MK dipertanyakan yang tentu saja menimbulkan pertanyaan,
jangan-jangan putusan yang diambil itu merupakan upaya “balas budi” kepada
pembentuk undang-undang (DPR dan presiden) akibat memberi perpanjangan usia
pensiun bagi hakim MK menjadi 70 tahun dalam revisi ketiga UU MK. Bahkan, periodesasi
lima tahun pergantian hakim MK juga dihapus, sehingga masa tugas hakim MK
begitu panjang.
Pertimbangan Progresif
MK memaksa rakyat
pada kondisi yang sangat
bertolak belakang dengan cita-cita pembentukan KPK yang memang didesain
menjadi superbody. Hal tersebut dapat
dibaca pada Penjelasan Umum alinea kedua UU KPK, bahwa meluasnya perilaku
korupsi bahkan menjadi sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi rakyat. Makanya, korupsi tidak lagi digolongkan sebagai
kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Penumpasan perilaku korup yang sistematis harus dengan cara-cara luar biasa
pula. Itulah dasar filosofi yang mendasari pembentukan KPK yang didesain superbody seperti dimaksud dalam Pasal
12 UU KPK. Dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK diberi
sembilan wewenang besar yang berbeda kualitas pelaksanaannya dengan yang
diberikan kepada polisi dan kejaksaan.
MK menolak mentah-mentah
uji formil, tetapi ada satu hakim konstitusi yakni Wahiduddin Adams yang
berpendapat berbeda (dissenting opinion)
dengan delapan hakim lainnya. Intinya, hakim ini mengabulkan permohonan uji
formil sehingga revisi UU KPK harus ditolak lantaran bertentangan dengan UUD
1945. Begitu progresifnya pertimbangan hukum yang dikemukakan hakim Wahiduddin, bahwa ia sudah
mencermati secara sungguh-sungguh seluruh dinamika persidangan dan
karakteristik tiap-tiap perkara dalam pengujian revisi UU KPK ini.
Wahiduddin yakin revisi
UU KPK bukan hanya sekadar merevisi, melainkan mengubah KPK secara fundamental
seperti menciptakan UU baru untuk KPK. Bagir Manan yang dihadirkan dalam sidang
sebagai Ahli menegaskan, bahwa yang dilakukan pembentuk UU sejatinya telah "membentuk
sebuah UU baru tentang KPK". Hal tersebut secara nyata telah mengubah
postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.
Ia bahkan menyoroti
proses kilat revisi UU KPK yang disetujui bersama DPR dan presiden pada 17
September 2019. Revisi disetujui dalam waktu yang spesifik dan sangat singkat, dilakukan
beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti DPR 2014-2019, dan beberapa
minggu menjelang berakhirnya jabatan Presiden Jokowi periode pertama.
Dalam kajian
akademik, penolakan uji formil memberi sinyal betapa hakim MK belum sepenuhnya memahami
substansi Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di
situ hakim dan hakim konstitusi diminta agar “wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat". Penjelasan pasal tersebut menekankan
bahwa "Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim
dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Rakyat menilai
revisi UU KPK telah mencederai rasa
keadilan masyarakat dalam pemberantasan korupsi yang diperankan KPK karena pelaksanaan tugas dan wewenangnya
dihambat. Delapan hakim konstitusi terjebak pada bukti yang
diajukan DPR telah melakukan uji publik di sejumlah kampus yang belum tentu
benar. Mereka tidak membuka nuraninya selaku negarawan, bahwa revisi UU KPK
merupakan UU baru tetapi banyak substansi yang diubah.
Hakim MK satu-satunya penyelenggara negara yang memiliki sikap “negarawan” sebagaimana diatur pada Pasal 15 UU MK. Sebagai “negarawan” dalam memutus perkara konstitusi harus mendahulukan kepentingan dan kebutuhan rakyat, kepentingan pemberantasan korupsi yang sudah menggurita dan menyengsarakan rakyat ketimbang kepentingan institusi yang mengusulkannya jadi hakim konstitusi. MK menguatkan kekecewaan rakyat akan keadilan, bahkan melengkapi definisi pelemahan KPK yang sudah dirancang oleh pembentuk undang-undang.(**) Makassar, 19 Mei 2021
Published : Mappasessu - LBH IWO SOPPENG
0 Comments