Perjanjian di Bawah Tangan


LBHIWOSOPPENG.COM Opini -- Perjanjian di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan merupakan perjanjian yang dibuat para pihak tanpa adanya campur tangan pejabat umum dan peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara spesifik mengenai formatnya. Misalnya perjanjian jual beli peralatan kantor antara penjual dan pembeli, atau surat perjanjian kerja antara perusahaan dan karyawan. Meski dapat dijadikan alat bukti, kekuatan pembuktian akta di bawah tangan berbeda dengan akta otentik, dan tidak sesempurna kekuatan bukti akta otentik.

Format Perjanjian di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan tidak memerlukan pejabat berwenang di bidangnya sesuai aturan hukum, karena akta ini dapat dibuat oleh pejabat yang tidak ditunjuk secara hukum, misalnya oleh para pihak dalam perjanjian yang dibuatnya sendiri.

Saksi yang Diperlukan
Karena akta di bawah tangan tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang, maka sebaiknya pembuatan dan penandatanganan akta ini turut menghadirkan saksi. Hal ini dilakukan untuk memperkuat pembuktian karena adanya saksi yang menyaksikan perbuatan hukum tersebut. Jadi, para pihak pun tidak dapat menyangkal keberadaan akta dan perbuatan hukum itu dengan mudah karena adanya saksi. Namun, saksi tersebut juga harus memenuhi syarat, yakni harus orang yang memiliki kecakapan secara hukum yang artinya sudah dianggap dewasa untuk melakukan perbuatan hukum.

Kekuatan Pembuktian
Berdasarkan Pasal 164 HIR, hukum acara perdata di Indonesia mengakui keberadaan surat sebagai salah satu alat bukti yang sah di pengadilan. Maka dari itu, akta di bawah tangan tetap diakui sebagai alat bukti yang dapat digunakan di pengadilan ketika terjadi sengketa. Namun, kekuatan pembuktiannya tidak sesempurna akta otentik, melainkan kekuatan pembuktiannya tetap ada selama akta tersebut tidak disangkal oleh para pihak yang membuatnya.

Apakah Akta di Bawah Tangan tetap Sah secara Hukum
Sah atau tidaknya suatu akta atau perjanjian tidak ditentukan berdasarkan bentuk akta tersebut, melainkan ditentukan dari terpenuhinya syarat sah perjanjian (apabila akta tersebut berupa perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak). Syarat sah perjanjian ini diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri atas:
  1. Kesepakatan para pihak;
  2. Kecakapan para pihak;
  3. Adanya objek perjanjian; dan
  4. Suatu sebab yang halal
Jadi, selama akta atau perjanjian di bawah tangan tersebut memenuhi syarat sah perjanjian, maka tetap sah dan mengikat para pihak sehingga para pihak wajib untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.




Published : Mappasessu --- LBH IWO SOPPENG



0 Comments