Jurnalisme Investigasi Sebagai Sebuah Tugas Suci


LBHIWOSOPPENG.COM - OPINI - Jurnalisme Investigasi Sebagai Sebuah Tugas Suci

Selama ini berkembang mitos bahwa jurnalisme investigasi adalah pekerjaan jurnalistik yang teramat sulit dan berbahaya. Hanya wartawan dengan nyali tinggi yang bisa melakukan pekerjaan itu. Mitos itu tak teramat salah, tapi juga tak benar-benar akurat.
Memang butuh keberanian, keterampilan, ketekukan, dan kemampuan khusus, tapi bukan berarti tidak bisa dikerjakan oleh siapa saja. Butuh pengalaman dan pengetahuan yang tepat untuk bisa melakukan kerja investigasi.
Jurnalistik investigasi merupakan salah satu dua cabang jurnalistik yang sulit tapi menantang, dibandingkan liputan biasa. Cabang pertama adalah news features. Basisnya adalah indepth reporting. Model ini mengandalkan pada kemampuan peliputan yang mendalam, lengkap, dan berpusat pada manusianya, pada tokohnya. Ia juga menuntut kemampuan menulis yang prima: ada struktur tulisan, ada juga plot (alur). News features itu tak ubahnya sebuah cerita pendek atau penggalan novel, dengan basis fakta dan data. Ada yang menyebut cabang ini sebagai jurnalistik sastrawi atau juga kisah bertutur (story telling). 
Jurnalistik investigasi berbeda. Genre ini lebih menuntut pada kemampuan liputan yang mendalam, kemampuan menelusuri dokumen, data, cerita, sumber-sumber, dan juga aliran uang, untuk mengungkapkan atau bahkan membuktikan sebuah skandal atau kejahatan terorganisasi. Ia bisa menyasar, misalnya, jaringan kriminal terorganisasi—seperti geng motor, narkoba, aborsi, perdagangan manusia—juga kejahatan lingkungan hidup, kejahatan keuangan, dan korupsi di lingkungan pemerintahan.

The Investigative Journalism Manual (IJM) mendefinisikan jurnalistik investigasi sebagai sebuah bentuk jurnalistik di mana wartawan melakukan reporting secara mendalam untuk menyelidiki satu peristiwa korupsi, atau kebijakan pemerintah atau perusahaan bermasalah. Seorang jurnalis atau investigasi dapat menghabiskan berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk meneliti satu topik.
Tidak seperti pelaporan konvensional—di mana wartawan bergantung pada materi yang dipasok oleh pemerintah, NGO, dan lembaga lain—pelaporan investigasi bergantung pada materi yang dikumpulkan sendiri oleh reporter atau tim investigasi. Praktik ini bertujuan untuk mengungkap hal-hal publik yang disembunyikan, baik secara sengaja atau tidak sengaja. IJM merupakan proyek the Global Media Programmes yang diinisiasi the Konrad Adenauer Stiftung, Jerman.
Publik atau kepentingan publik menjadi kata kunci jurnalistik investigasi. Karena itu, demi menjalankan fungsi kontrol sosial, setiap media seharusnya mengembangkan jurnalistik investigasi. Banyak persoalan dalam penyelenggaraan negara yang tidak memenuhi prinsip good governance atau kepatuhan pada aturan atau tatanan hukum. Korupsi, misalnya, jelas menghancurkan tatanan hukum dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Dalam banyak kasus korupsi, penggelapan uang negara itu dilakukan tak ubahnya seperti kejahatan terorganisasi karena melibatkan politisi di parlemen, pejabat pemerintah, aparat hukum, dan swasta.
Data di bawah ini mungkin tidak akan mengejutkan Anda karena makin lama makin terdengar biasa. Dalam kurun waktu 2015-2019, ada 254 orang anggota DPR dan DPRD, serta bekas anggota DPR dan DPRD yang menjadi tersangka korupsi. Untuk periode 2014-2019, ada 22 anggota dan pimpinan DPR yang menjadi tersangka korupsi, bahkan ketua DPR-nya masuk bui. Dalam kurun waktu yang sama, ada 19 hakim, 7 jaksa dan 2 polisi, serta 101 bupati/walikota atau wakil bupati/walikota yang menjadi tersangka korupsi. 
Indonesia, selain memiliki lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian kejaksaan, hingga pengadilan, juga mempunyai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di luar itu, ada beberapa lembaga yang bisa menyokong pemberantasan korupsi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), aparat pemeriksa internal pemerintah (APIP) di setiap kementerian dan lembaga, dan yang paling baru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Mestinya, dengan lembaga atau aparat penegak hukum dan audit sebanyak itu, tingkat korupsi tidak semasif sekarang. Tapi, fakta berbicara lain. Tak cuma polisi, jaksa, hakim yang masuk bui karena korupsi, pimpinan dan auditor utama BPK pun ada yang dipenjara. Padahal, lembaga negara ini menjadi tumpuan utama polisi dan KPK dalam penghitungan kerugian negara dalam banyak kasus korupsi. Karena itu, Indonesia membutuhkan lembaga pengawas (watchdog) di luar pemerintahan, termasuk media massa.
Tempo beberapa kali membongkar kejahatan korupsi dalam skala yang sangat besar, yang melibatkan hampir semua unsur pemerintahan, DPR, aparat penegak hukum, dan swasta. Misalnya, kasus impor daging, kasus e-KTP, dan Simulator SIM. Di luar itu, masih banyak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan seperti perdagangan manusia (human trafficking) atau kejahatan pajak yang melibatkan perusahaan-perusahaan raksasa seperti kelompok usaha Raja Garuda Mas. 
Kasus e-KTP, misalnya, menjerat anggota DPR, termasuk Ketua DPR Setya Novanto, dan pejabat eselon satu Kementerian Dalam Negeri. Korupsi dalam pengadaan alat simulator SIM menjerat Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri Irjen Pol Djoko Susilo. Kongkalikong impor daging menggiring Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq ke penjara. Belum lagi kasus korupsi Hambalang yang menyeret Menteri Pemuda dan Olahraga, serta sejumlah anggota DPR ke penjara. Daftarnya masih sangat panjang.


Cover Majalah Tempo edisi 13-19 Maret 2017

Cover Majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2013
Kisah paling spektakuler dalam jurnalistik investigasi yang dilakukan Carl Bernstein dan Bob Woodward yang membongkar Skandal Watergate di Amerika Serikat pada awal dekade 1970-an. Anda bisa membaca karya keduanya dalam buku All the President’s Men. Dua wartawan koran The Washington Post ini pada ujungnya berhasil menjatuhkan Amerika Serikat ke-37, Richard Milhous Nixon. Watergate merupakan nama sebuah superblok mewah di Washington.

Cover liputan The Washington Post mengenai skandal Watergate pada 1972. Sumber: staveblank.com

Kasus ini bermula dari peristiwa kriminal biasa, yakni pembobolan Markas Partai Demokrat di Watergate, Washington DC, oleh lima penjahat. Di buku itu, Anda akan menemukan Woodward dan Bernstein yang tak kenal lelah menelusuri dan menggali informasi dari banyak narasumber, hadir dalam sidang-sidang pengadilan dan mendengarkannya dengan ketekunan yang luar biasa, tidak lelah melakukan riset (terutama tentang Who –ada puluhan nama yang muncul dalam investigasi mereka), dan pasang telinga di mana-mana. 
Mereka juga “berteman” dengan polisi di mana mereka bisa membaca buku alamat dan catatan-catatan milik para tersangka. Dari semua itu mereka beberapa kata kunci atau nama orang seperti CIA, Mr. HH (belakangan diketahui sebagai Howard E. Hunt, salah seorang staf di Gedung Putih). Dari Mr. HH mereka menemukan nama Colson, yang tak lain adalah Charles W. Colson, penasehat khusus Presiden Nixon. Hunt bekerja sebagai konsultan Colson. Dari sinilah, mereka kemudian mengaitkan kasus pembobolan dengan Gedung Putih. Nixon presiden dari Partai Republik.   
Dan yang paling penting, mereka berdua memiliki narasumber “orang dalam”. Mereka mendapatkan banyak background information dari sumber tersebut. Mereka memperlakukannya sebagai “Deep Background”. Pada mulanya, mereka menyebutnya “my friend”. Tapi, belakangan, Redaktur Pelaksana the Post, Howard Simons menyebut sang sumber dengan “Deep Throat”. Entah mengapa, Simons mengambilnya dari judul film porno legendaris di Amerika Serikat. Dibuat dengan biaya US$ 25 ribu, film ini meraup penghasilan kotor US$ 600 juta!
Liputan investigasi biasanya berlangsung lama dan melelahkan. Pengungkapan Skandal Watergate merentang sepanjang hampir 26 bulan. Kasus Watergate dimulai pada 17 Juni 1972 ketika Woodward menemukan berita kecil tentang pembobolan. Sejak itu, the Post hampir setiap hari menulis soal ini. Ajaibnya, Nixon terpilih kembali menjadi presiden pada 7 November 1972 dengan kemenangan telak, salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah Amerika Serikat.
Setelah melewati penyelidikan FBI yang panjang, pada 17 Mei 1973 Senat Amerika Serikat membentuk Komite Watergate. Nixon bukannya tanpa perlawanan. Pada 20 Oktober 1973, Nixon memecat Archibald Cox yang ditunjuk Senat sebagai Ketua Penyelidik.  “I am not a crook (saya bukan bajingan),“ teriak Nixon dalam sebuah konferensi pers sebulan kemudian. Pada Februari 1974, Woodward dan Bernstein menerbitkan buku All the President’s Men. 
Awal Agustus 1974, rekaman percakapan Nixon dan Kepala Staf Gedung Putih H.R. Haldeman yang mendiskusikan pembobolan Watergate dirilis ke publik. Pada 8 Agustus 1974, perlawanan Nixon berakhir. Ia menjadi Presiden AS yang pertama kali mengundurkan diri. Kisah ini kemudian difilmkan pada 1976 dengan Robert Redford didapuk menjadi Woodward, dan Dustin Hoffman sebagai Bernstein.    
Pada 31 Mei 2005, the Washington Post mengungkapkan bahwa sang Deep Throat tak lain adalah William Mark Felt, Wakil Direktur FBI pada saat kejadian berlangsung. Ia meninggal pada 18 Desember 2008 dalam usia 95 tahun. Nixon meninggal pada 22 April 1994, tanpa pernah tahu siapa sesungguhnya sang Deep Throat, aktor kunci di balik kejatuhannya.
Kasus yang sedikit berbeda terjadi di Boston. Karya jurnalistik investigasi yang ditulis Spotlight, tim investigasi koran The Boston Globe. Mereka mulai mengerjakan kasus ini pada 2001. Mereka menginvestigasi praktik pelecehan seksual Pastor John J. Geoghan terhadap lebih dari 130 anak di lingkungan Gereja Katolik Roma di Boston. Geoghan hanya satu dari 87 nama pastur pedofilia yang berhasil mereka kumpulkan. 

Cover The Boston Globe. Sumber: Intermonk.com

Kasus pelecehan dan pemerkosaan terhadap anak-anak yang masih berusia 4-5 tahun ini memang dahsyat. Banyak kalangan mempertanyakan mengapa Keuskupan Agung Boston mendiamkan praktik pelecehan Geoghan selama 34 tahun. Meskipun sudah berkali-kali menjalani counseling dan pengobatan, Geoghan toh masih juga ditugasi mengurus anak-anak, termasuk anak altar di enam Paroki.
Fakta lain yang menarik adalah kejahatan yang dilakukan Geoghan ini terjadi pada tiga kardinal yang memimpin Keuskupan Agung Boston di Massachussett, dan berakhir pada masa Kardinal Bernard Law. Law akhirnya mengundurkan diri dari Keuskupan Boston dan ditarik ke Roma.  Investigasi Spotlight sempat terhenti ketika terjadi serangan pada 11 September 2001. Laporan investigasi ini akhirnya baru diturunkan pada awal 2002
Beberapa hal di atas merupakan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan liputan biasa atau liputan media sehari-hari. Angle atau sudut pandang yang dipilih media online atau koran biasanya terbatas pada peristiwa penting dan aktual. Angle jurnalistik investigasi biasanya cuma satu, yakni modus operandi korupsi atau kejahatan lain seperti kejahatan keuangan, lingkungan, dan kemanusiaan.

Editor : Mappasessu - LBH IWO SOPPENG




0 Comments