GRATIFIKASI, Salah Satu Bentuk Korupsi

LBHIWOSOPPENG.COM Opini ---  GRATIFIKASI, Salah Satu Bentuk Korupsi 
Penulis : Mappasessu (Mahasiswa Pascasarjana)

Salah satu bentuk korupsi yang selama ini banyak dipraktikkan dalam birokrasi oleh penyelenggara negara dan pegawai negeri adalah Gratifikasi. Akan tetapi belum banyak tersentuh hukum.

Dalam kamus hukum bahasa Belanda adalah Gratificatie, kata grafitasi ini yang kemudian dijadikan dasar pembentuk undang-undang merumuskannya sebagai salah satu bentuk korupsi, kata tersebut bermakna Pemberian Hadiah kepada penyelenggara negara dan pegawai negeri yang meliputi; Pemberian Uang, Barang, Rabat (discount), Komisi, Pinjam Tanpa Bunga, dan fasilitas lainnya.
Salah satu kebiasaan yang acap kali terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atau hadiah atau cendera mata atas jasa yang telah diberikan oleh seseorang, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Ternyata pemberian tanda terima kasih ini sudah menjadi kebiasaan dan dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar. Namun, dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pembuat undang-undang memandangnya sebagai sesuatu yang bersifat negatif, lantaran berpotensi menimbulkan adanya potensi korupsi yang diawali dengan pengabaian terhadap tugas dan kewajiban. Potensi korupsi inilah yang sesungguhnya ingin dicegah, terutama jika pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan atau kewenangan yang dimiliki.
Permasalahan kemudian bisa muncul jika pemberian itu berasal dari seseorang yang memiliki kepentingan terkait keputusan  atau kebijakan yang akan dikeluarkan oleh seorang penyelenggara negara dan pegawai negeri. Terlebih jika  pemberian hadiah itu melampaui batas sewajarnya karena terlalu besar nilainya. Sehingga diragukan integritas, independensi dan objektifitas penyelenggara negara dan aparatur sipil negara yang menerima hadiah dalam membuat keputusan atau kebijakan.


Dasar Hukum Gratifikasi
Adapun dasar hukum gratifikasi diatur dalam Pasal 12B UU Korupsi tahun 2001 yang dapat dikenakan pembuktian terbalik adalah sebagaiberikut :
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan bertetangan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagaiberikut :
a. Yang nilainya Rp. 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)

Unsur-unsur Gratifikasi
Dengan menyimak penjelasan diatas maka unsur-unsur gratifikasi yang terkandung dalam Pasal 12B Ayat (1) UU Korupsi karena termasuk Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai berikut.
a. Subjek Hukum (pelaku) yang dapat dipidana sebagai penerima gratifikasi adalah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Yang dimaksud pegawai negeri diterangkan dalam Pasal 1 butir 2 UU Korupsi, yakni : apa yang tertuan dalam UU tentang Kepegawaian, dalam KUHP, juga dijelaskan bahwa orang yang menerima gaji atau upah, dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau yang mempergunakan modal dan fasilitas dari negara atau masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud penyelenggara negara disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN yakni Pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Gratifikasi termasuk pemberian suap, merupakan bentuk lain dari korupsi yang dilarang dan diajukan secara khusus untuk diterima bagi pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara, sedangkan penerima suap bagi yang bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dikenakan Pasal 5 UU No. 31 tahun 1999
c. Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya.
Pelaporan dan Penentuan Status Hukum Gratifikasi
Mengenai pelaporan gratifikasi, merupakan perintah Pasal 12C Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 20 tahun 2001. Artinya setiap gratifikasi yang diterima harus dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan demikian laporan gratifikasi wajib dilakukan penerima gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak menerima gratifikasi diterima. Jika melewati batas waktu 30 hari kerja sejak menerima gratifikasi, tetapi tidak dilaporkan yang kemudian diketahui KPK karena ada laporan atau pengaduan dari pihak lain (warga masyarakat atau LSM), maka KPK akan memprosesnya, termasuk memproses pemberi gratifikasi dengan menerapkan pasal lain.

Filosofi dan substansi yang terkandung dalam larangan menerima gratifikasi, pada dasarnya dimaksudkan agar pegawai negeri dan penyelenggara negara bersikap jujur dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajibannya sebagai abdi negara.
Pembuktian Gratifikasi di Sidang Pengadilan
Mengenai pembuktian gratifikasi di depan sidang pengadilan menurut Pasal 12B UU Korupsi tahun 2001 bisa dengan 2 (dua) cara berikut :
a. Gratifikasi yang nilainya Rp. 10 juta atau lebih, dikenakan Pembuktian Terbalik, yakni pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan dilakukan oleh penerima gratifikasi. Dengan demikian bukan lagi penuntut umum yang harus membuktikan dakwaannya, tetapi penerima gratifikasi yang harus membuktikan dakwaan penuntut umum bukan sebagai gratifikasi;
b. Gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap tetap dilakukan oleh penuntut umum sama dengan pembuktian perkara pidana secara umum.

Published : LBH IWO SOPPENG



0 Comments