Tanah Warisan di Jual Keluarga Lain, Perlukah Pembatalan Sertifikat Tanah dalam Gugatan Waris ?

LBH CITA KEADILAN - Tanah Warisan di Jual Keluarga Lain : Perlukah pembatalan sertifikat tanah dalam Gugatan Waris ?
Menurut hemat kami, dalam permohonan fatwa waris, tidak perlu diajukan pembatalan sertifikat. Dalam permohonan cukup disebutkan nilai nominal dari objek warisan yang telah terjual kepada pihak ketiga (yang beriktikad baik) untuk kemudian dijadikan perhitungan atau dasar pembagian warisan.
"LBH CITA KEADILAN WATANSOPPENG, Konsultan Hukum Keluarga ANDA" Hp./WA. 085242935945
Jual Beli Harta Warisan
Pada dasarnya, suatu jual beli batal apabila si pembeli tidak mengetahui bahwa objek jual beli tersebut menjadi hak orang lain.
Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) berbunyi:
Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.
Dalam hal ini, jika tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris.
seharusnya jual beli tanah warisan ini disetujui oleh semua ahli waris sebagai pihak yang mendapatkan hak milik atas tanah tersebut.
Jika jual beli tersebut telah terjadi tanpa tanda tangan para ahli warisnya sebagai pemiliknya (karena tidak ada persetujuan dari para ahli waris) sehingga tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak, maka jual beli tersebut batal dan dianggap tidak pernah ada.
Gugatan Fatwa Waris
Gugatan terkait sengketa waris dan objek harta warisan sendiri dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
...
b. Waris
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.[1]
Baca Juga : Tentang Permohonan Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Agama
Kemudian, Pasal 50 UU 3/2006 menentukan bahwa:
1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Menurut hemat kami, dalam permohonan fatwa waris, tidak perlu diajukan pembatalan sertifikat. Dalam permohonan cukup disebutkan nilai nominal dari objek warisan yang telah terjual kepada pihak ketiga (yang beriktikad baik) untuk kemudian dijadikan perhitungan atau dasar pembagian warisan.
Pembuatan Permohonan Fatwa Waris
Mengenai Pembuatan Permohonan Fatwa Waris, bisa melalui :
Kantor Hukum
Tidak ada ketentuan yang menentukan pembatalan jual beli bagian waris yang memang menjadi bagian seseorang dan tidak menjadi objek sengketa.
Sebagai catatan mengenai pihak yang membeli objek jual beli, karena fatwa waris juga belum ada, maka dapat diasumsikan pembeli sendiri tidak mengetahui bahwa atas objek jual beli terdapat hak orang lain. Oleh karena itu, ia hanya diberikan penggantian biaya atau ganti kerugian.
Di sisi lain, pembatalan sertifikat dapat dilakukan bila memang dapat dibuktikan adanya pengetahuan si pembeli bahwa benda yang dibelinya memang bukan milik si penjual.

Demikian, semoga bermanfaat !!

Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


[1] Penjelasan Pasal 49 huruf b UU 3/2006

0 Comments