Gugatan Cerai Sesama Islam; Tergugat yang Tidak Diketahui Alamat / GHOIB


LBH IWO SOPPENG - Gugatan Cerai ber Agama Islam; Tergugat yang Tidak Diketahui Alamat / Keberadaannya. Tulisan ini mengenai gugatan kepada suami ghaib (tidak diketahui keberadaannya)
Karena gugatan cerai antara suami istri yang beragama Islam, maka kami merujuk pada Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”):
(1)  Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2)  Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3)  Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
"LBH IWO SOPPENG, Konsultan Hukum Keluarga ANDA" Hp./WA. 085242935945
Diajukan Istri
Maka, gugatan perceraian yang diajukan oleh istri pada dasarnya dilakukan di tempat kediaman penggugat. Hal ini bertujuan untuk melindungi pihak istri.[1]
Demikian juga dengan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.[2]
Prinsipnya; dimanapun keberadaan tergugat atau tergugat tidak diketahui keberadaannya, UU Peradilan Agama dan KHI telah mengatur bahwa gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri).
Baca Juga : Aturan Perceraian Khusus Bagi Yang Beragama Islam
Proses selanjutnya adalah pemeriksaan gugatan perceraian
Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat, atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.[3]
Pasal 139 KHI dijelaskan bahwa jika tempat kediaman tergugat (suami) tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Dalam hal sudah dilakukan panggilan dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak dan tidak beralasan.
Putusan verstek
Jadi, apabila pengadilan telah memanggil suami ghaib (Tergugat) itu dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lain dan tergugat tidak juga hadir, maka gugatan cerai yang diajukan oleh istri itu diterima tanpa hadirnya tergugat. Ini dinamakan dengan putusan verstek.
Syarat Cerai Gugat yang Ghaib
Dalam hal suami ghaib, maka ada persyaratan yang wajib dipenuhi oleh istri (Penggugat) yang mengajukan gugatan cerai. Persyaratan yang wajib dipenuhi yaitu:
1. Alamat lengkap Penggugat saat ini (RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota). Apabila tempat tinggal Penggugat saat ini sudah tidak sesuai dengan alamat yang tertera di KTP, maka harus disertakan juga Surat Keterangan Domisili dari kelurahan tempat tinggal Penggugat sekarang.
2. Karena alamat Tergugat sudah tidak diketahui lagi, baik di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia, maka harus disertakan juga Surat Keterangan telah ditinggal oleh suami selama ..... tahun dari Kelurahan (minta pengantar terlebih dahulu ke RT/ RW) /Surat Keterangan Ghaib dari kelurahan).
3. Foto Copy KTP Penggugat  (2 lembar).
4. Foto Copy Buku Nikah (2 lembar).
5. Buku Nikah Asli.
6. Surat Gugatan (rangkap 4). Surat gugatan harus jelas dan disertai dengan alasan yang jelas dan terperinci.
7. Membayar Panjar Biaya Perkara.
(Sumber : laman Pengadilan Agama)
*Keterangan :
Persyaratan ini merupakan persyaratan awal, untuk selanjutnya mengikuti petunjuk dan perintah dari majelis hakim di dalam persidangan.
Pembuatan Permohonan dan Pendampingan
Untuk Pembuatan Permohonan serta Pendampingan, bisa :
Kantor Hukum
Sekian, semoga bermanfaat !!!

Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah terakhir kalinya oleh Undang-Undang No. 50 Tahun 2009;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.


[1] Penjelasan Pasal 73 ayat (1) Undang Undang Peradilan Agama
[2] Pasal 132 ayat (1) KHI
[3] Pasal 138 ayat (1) KHI

0 Comments