Upaya Hukum atas Mobil atau Motor Kredit Nasabah Yang Ditarik Paksa Pembiayaan.


Upaya Hukum atas Mobil atau Motor Kredit Nasabah Yang Ditarik Paksa Pembiayaan


Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa perusahaan kreditur atau leasing tidak bisa mengeksekusi obyek jaminan fidusia seperti kendaraan atau rumah secara sepihak. Bahkan, perusahaan leasing harus meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan.
"Penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri," demikian bunyi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020.

Terkait pasca putusan MK No. 18/PPU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 tentang fidusia. Memunculkan banyak perdebatan, antara pihak debitur dan kreditur.
Ada beberapa pendapat tentang hal ini bahwa apabila transaksi tidak diaktakan notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia, maka secara hukum perjanjian fidusia tersebut tidak memiliki hak eksekutorial dan dapat dianggap sebagai hutang piutang biasa, sehingga perusahaan leasing tidak berwenang melakukan eksekusi, seperti penarikan motor (lihat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia). Selain itu eksekusi yang dilakukan harus melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pihak leasing tidak berwenang melakukan eksekusi penarikan motor tersebut. Eksekusi haruslah dilakukan oleh badan penilai harga yang resmi atau Badan Pelelangan Umum. Jika terjadi penarikan motor oleh pihak leasing tanpa menunjukkan sertifikat jaminan fidusia, itu merupakan perbuatan melawan hukum.

Disisi lain terdapat pandangan lain dari pihak Kreditur, bahwa Putusan MK tersebut justru memperjelas Pasal 15 Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang wanprestasi atau cedera janji antara debitur dan kreditur. perusahaan leasing dapat mengeksekusi apabila ada beberapa kondisi. Seperti debitur terbukti wanprestasi, debitur sudah diberikan surat peringatan, dan perusahaan pembiayaan memiliki sertifikat jaminan fidusia, sertifikat hak tanggungan dan atau sertifikat hipotek. Kemudian, apabila debitur juga tidak dapat menyelesaikan kewajiban dalam jangka waktu tertentu, perusahaan pembiayaan dapat melakukan penjualan agunan melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

Bahwa dalam putusan MK ini, perusahaan leasing tetap boleh melakukan eksekusi tanpa melalui pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan jaminan dalam perjanjian fidusia, maka akan menjadi kewenangan bagi penerima fidusia untuk lakukan eksekusi sendiri. Jadi, mesti ada perjanjian sebelumnya, berapa pinjamannya, berapa bunganya yang harus dibayar termasuk jangka waktunya. Dan batas waktu pembayaran angsuran bagaimana jika tidak membayar angsuran dan berapa dendanya.

Bagaimanapun, jika ditelisik lebih jauh, tidak semua eksekusi harus dilakukan melalui pengadilan. MK secara jelas menetapkan hal itu dalam putusannya. 
“….terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitor keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

Jadi, ada dua syarat yang disebutkan. Pertama, tidak ada kriteria wanprestasi yang disepakati kreditur dan debitur dalam isi perjanjian mereka. Kedua, debitur enggan objek jaminan fidusia disita kreditur.
Pengadilan menjadi penengah untuk memberikan izin eksekusi saat syarat-syaratnya terpenuhi.

Eksekusi objek tetap dapat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan selama terdapat perjanjian di awal mengenai klausul wanprestasi dan cidera janji. "Artinya, jika perusahaan pembiayaan memberikan kredit motor, dan debitur sudah janji akan bersedia dieksekusi kalau ada wanprestasi. Maksud MK itu memperjelas bahwa kalau ada cidera janji berarti dapat dieksekusi,"
.
Sekian, Semoga Bermanfaat

0 Comments