Fenomena Jurnalis terhadap Kasus Pencemaran Nama Baik

LBHIWOSOPPENG.COM - Soppeng - Fenomena Jurnalis terhadap Kasus Pencemaran Nama Baik


Tulisan ini merupakan kajian hukum yang ditinjau dari sudut pandang jurnalis atau profesi wartawan, sesuatu tema yang beberapa hari ini (22/2/2022) muncul banyak pertanyaan dari beberapa kalangan kepada LBH IWO SOPPENG, sehingga menjadi kewajiban bagi kami untuk memberi pandangan se objektif dan se murni mungkin secara profesional.

Setelah adanya media sosial pengaturan tentang pencemaran nama baik diatur dalam ketentuan-ketentuan Undang-undang ITE, yaitu : Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : 

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”,


Selanjutnya, pasal cantolan sanksi nya:

Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : 

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan atas kasus tersebut. Ini berlaku secara umum, lalu bagaimana jika sekiranya itu dilakukan oleh insan pers atau seorang jurnalis atau wartawan ?

Dalam konteks Logika Hukum, Ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE ini adalah justru memberikan perlindungan bagi wartawan karena adanya unsur, "dengan sengaja dan tanpa hak,".

Dengan adanya unsur "tanpa hak" wartawan dan pimpinan lembaga pers yang melaksanakan tugas jurnalistik berdasarkan UU Pers tidak dapat dijerat dengan UU ITE ini jika telah menerapkan kode etik jurnalistik.


Dilindungi Haknya

"Artinya wartawan yang melaksanakan tugas jurnalistiknya sesuai dengan UU No.40/1999 tentang Pers dilindungi Haknya, jika dalam tugas jurnalistiknya tersebut ada complain dari masyarakat terkait penghinaan dan atau pencemaran nama baik,

lex specialis

Sehingga secara penerapan aturan menjadi lex specialis, bukan langsung pada Pasal 27 ayat. (3) UU ITE. Untuk kasus terkait Pers perlu melibatkan Dewan Pers.


Dewan Pers


Sebagaimana dalam Prosedur Pengaduan Dewan Pers Pasal 1

Pengaduan adalah kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/ instansi yang menyampaikan keberatan atas hal-hal yang terkait dengan karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers.

 

Bahwa kebebasan pers adalah salah satu bentuk jaminan pemenuhan hak warganegara atas informasi, hak asasi manusia, dan hak untuk tahu yang lebih merupakan kewajiban negara ini untuk diberikan kepada wartawan. Hak untuk mendapatkan, mengolah dan menyampaikan informasi yang sepenuhnya harus dijamin oleh negara.

 

Hal utama pembatasan dalam Cyberspace yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia misalnya diseminasi konten Pornografi, hal ini bertujuan untuk melindungi anak dan menjaga moral bangsa. konten Perjudian, yang bertujuan melindungi keluarga, Terkait penghinaan jelas untuk melindungi HAM warga negara. konten mengandung SARA. Hal ini untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Disamping itu berita bohong yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat, Ini juga untuk melindungi masyarakat dari penipuan online.


Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung dan Kapolri

Telah keluar keputusan bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung dan Kapolri soal pedoman implementasi  Pasal  27  ayat (1), (2), (3) dan (4); Pasal 28  ayat (2) Pasal 29  dan Pasal 36 UU ITE. 

Dalam pedoman implementsi pasal  huruf “L” dijelaskan: 

“Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan oleh institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan UU Pers No 40 Tahun 1999 tentang Pers, di berlakukan mekanisme  UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex spesialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. 

Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers. Tetapi jika wartawan secara pribadi menguggah tulisan pribadinya di media sosial  atau internet, maka akan berlaku UU ITE termasuk Pasal 27 ayat (3).” 

Dengan demikian pers yang bekerja benar sesuai UU Pers, tidak dapat lagi dijerat Pasal 27 ayat (3) yang selama ini jadi momok pers.


Konten di Youtube dan Vlog Produk Pers

Terkait maraknya konten video yang dikemas di Youtube dan Vlog oleh media. Tak hanya media online saja, namun media televisi juga memiliki konten dalam bentuk video yang disebarluaskan di media sosial seperti Youtube, Facebook.

Konten video dan vlog harus diterbitkan pertamakali di portal media tersebut sebelum kemudian disebarluaskan ke berbagai media sosial dan saluran lainnya. 

Menurut Kamsul Hasan, Ahli Pers yang juga pengurus pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

"Saya ingatkan kalau publikasi pertamanya pada media sosial seperti YouTube, Facebook dan lain-lain, maka itu bisa dijadikan alat bukti bukan sebagai karya pers. Pola itu harus dibenahi agar bila terjadi sengketa bisa masuk ranah karya jurnalistik. Publikasi pertama harus di media berbadan hukum pers baru kemudian disebarkan dengan media sosial seperti Youtube, Facebook atau  saluran lainnya," jelas Kamsul Hasan. dikutip dari Bengkulu TODAY.com

Demikian alur produksi dan awal publikasi yang mesti dipahami agar bila terjadi sengketa antara wartawan dengan pihak lain bisa masuk sebagai karya jurnalistik, bukan media sosial



Dipublikasi: Mappasessu LBH IWO SOPPENG





0 Comments